Showing posts with label majapahit. Show all posts
Showing posts with label majapahit. Show all posts

Monday, March 5, 2012

KERAJAAN MAJAPAHIT DAN SEGALA ASPEK-ASPEK NYA

Kerajaan Majapahit dan segala aspek-aspeknya ini dalam beberapa aspek masih banyak mengundang perdebatan, baik dari segi sumber penulisannya sampai kepada upaya-upaya pembelokkan sejarahnya yang masih terjadi hingga saat ini. Banyak website atau blog yang mengulas tentang sejarah Kerajaan Majapahit ini, namun tidak semuanya benar atau valid. Yang lebih memilukan lagi adalah terdapatnya segelintir orang yang mengaku-aku sebagai Raja Majapahit saat ini, padahal bila kita teliti dari sudut keturunannya pun, terlihat melenceng sama sekali.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masa akhir Kerajaan Majapahit ini terkesan misterius, hal ini disebabkan karena minimnya sumber informasi yang ada (yang sepertinya memang sengaja dihilangkan oleh pihak-pihak tertentu), termasuk juga telah mulai membiasnya tendensi-tendensi arkeologis, sehingga menyebabkan masa akhir Kerajaan Majapahit ini menjadi semakin kabur dan tidak jelas. Hanya sedikit sekali sumber-sumber (yang dapat dipergunakan sebagai acuan) otentik yang mengisahkan masa akhir Kerajaan Majapahit ini. Namun kesemuanya lebih banyak berupa hikayat dan babad, yang pada akhirnya dapat menimbulkan multi-tafsir serta memicu munculnya perdebatan.

Satu contoh simple, keruntuhan Kerajaan Majapahit banyak ditafsirkan berakhir pada tahun 1478 M hal ini disesuaikan dengan idiom atau sasanti Sirna ilang kertining bhumi. Padahal bila kita tinjau ulang berdasarkan berita-berita perjalanan dari beberapa pedagang asing serta beberapa prasasti batu (yang mungkin tidak populer), dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Majapahit masih tetap berdiri atau anggap saja masih eksis hingga tahun 1521 M, namun pusat kerajaannya telah dialihkan atau dipindahkan dari pusat kerajaan yang lama.

Selanjutnya bila kita tinjau lebih dalam lagi, sasanti Sirna ilang kertining bhumi adalah merupakan candrasengakala untuk memperingati kekalahan atau gugurnya Raja Bhre Kertabhumi, dan beliau gugur di kedaton (Istana Majapahit). Jadi kesimpulannya adalah, sasanti Sirna ilang kertining bhumi tersebut bukan merupakan sasanti yang menggambarkan kehancuran Kerajaan Majapahit.

Sekian dahulu tutur saya, di lain kesempatan akan dilanjutkan lagi.

Salam, rahayu, rahayu, rahayu sagung dumadi.

Tuesday, June 7, 2011

RAJA-RAJA MAJAPAHIT AKHIR (1)

Setelah interregnum (kekosongan kepemimpinan) selama tiga tahun, maka pada tahun 1456 M, tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menaiki tahta kerajaan Majapahit. Ia adalah salah seorang anak Dyah Kertawijaya yang semasa pemerintahan ayahnya telah menjadi raja daerah (bawahan) di Wengker (Bhattara ing Wengker). Di dalam kitab Pararaton ia disebutkan dengan nama gelarnya Bhra Hyang Purwwiwisesa. Ia memerintah selama sepuluh tahun, dan pada tahun 1466 M ia meninggal dunia dan didharmakan di Puri.

Sebagai penggantinya kemudian Bhre Pandan Salas menaiki tahta kerajaan Majapahit dan memerintah mulai tahun 1466 M. Ia dikenal pula dengan nama Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana. Sebelum menjadi raja di Majapahit, ia berkedudukan sebagai raja daerah (bawahan) di Tumapel (bhattara ring Tumapel). Lihat Pararaton hal 40, prasasti Waringinpitu lempeng IV-verso, baris 1-4 dan prasasti Trawulan III, di dalam OV, 1918, hal. 170. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia hanya memerintah selama dua tahun, kemudian menyingkir meninggalkan keratonnya. Fakta yang ada berdasarkan prasasti Pamintihan (lihat : F.D.K Bosch, "De Oorkonde van Sendang Sedati", OV, 1922, hal. 22-27) yang dikeluarkan olehnya pada tahun 1473 M, ternyata bahwa sampai pada waktu itu ia masih memerintah sebagai raja Majapahit, bahkan di dalam prasastinya ia disebutkan sebagai seorang Sri Maharajadhiraja yang memimpin raja-raja keturunan Tuan Gunung (sri giripatiprasutabhupatiketubhuta), disamping disebutkan pula sebagai "penguasa tunggal di tanah Jawa" (yawabhumyekadhipa).


Di dalam manggala kakawin Siwaratrikalpa gubahan Mpu Tanakung, ia disebutkan pula sebagai "seorang raja yang memang telah sepantasnya menjadi keturunan wangsa Girindra" (tan lyan sry adisuraprabhawa sira bhupati sapala Girindrawangsaja). Lihat : P.J. Zoetmulder, "Djaman Mpu Tanakung", Laporan KIPN-II, VI, 1965, hal 206 dan P.J. Zoetmulder, "Kalangwan", 1974, hal. 365 ; A. Teeuw et al. "Siwaratrikalpa", 1969, hal. 64,68.
Dengan adanya kenyataan yang demikian ini maka pemberitaan kitab Pararaton yang menyebutkan Bhre Pandan Salas hanya memerintah sebagai raja Majapahit selama dua tahun tidaklah benar adanya. Namun pemberitaan mengenai penyingkiran Bhre Pandan Salas dari keratonnya dapatlah dibenarkan. Penyingkiran Bhre Pandan Salas ini disebabkan oleh serangan dari Bhre Kertabhumi, yang ingin merebut kekuasaan Majapahit. Dari kitab Pararaton dapatlah diketahui bahwa Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu Sang Sinagara (Rajasawarddhana).
Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1486, diketahui adanya penyelenggaraan upasara Sraddha untuk memperingati duabelas tahun mangkatnya Paduka Bhattara ring Dahanapura. Oleh para sarjana tokoh Bhattrara ring Dahanapura ini diidentifikasikan sebagai Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana. Lihat : Martha A. Muusses, "Singhawikramawarddhana", FBG, II, 1929, hal 207-214 ; B.J.O Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two : Ruler and Relam in Early Java. The Hague/Bandung: W. van Hooeve, 1957, hal. 44 dst.

Dengan berdasarkan pada keterangan-keterangan yang terdapat pada prasasti-prasasti Girindrawarddhana tersebut dapat diduga bahwa ketika keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kertabhumi, maka Bhre Pandan Salas menyingkir ke Daha, melanjutkan pemerintahannya sampai saat ia meninggal dunia pada tahun 1474 M.


Bersambung  ........... ke bagian kedua

Saturday, May 28, 2011

RAJA-RAJA MAJAPAHIT AKHIR (2)

Sepeninggal Dyah Suraprabhawa, kedudukannya sebagai raja Majapahit digantikan oleh anaknya Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, yang sebelum menduduki tahta Majapahit beliau berkedudukan sebagai Bhattara i Kling (Raja bawahan di Keling). Pada masa pemerintahannya beliau tidak berkedudukan di Majapahit, melainkan tetap di Keling, oleh karenanya dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkannya beliau disebutkan sebagai Paduka Sri Maharaja Bhattara i Kling disamping sebagai Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunata.

Pada awal pemerintahannya, Ranawijaya didampingi oleh seorang rakryan apatih yang bernama Pu Wahan (lihat : OJO XCI, baris kedua), sedang pada akhir masa pemerintahannya ia didampingi oleh seorang rakryan apatih yang bernama Udara. Dari Babad Tanah Jawi diperoleh keterangan bahwa patih Udara ini adalah anak dari patih Pu Wahan, yang semula ia berkedudukan sebagai adipati di Kadiri (lihat : W.L. Olthof, Babad Tanah Jawi, 1941, teks bahasa Jawa, hal. 17-18). Suma Oriental, Tome Pires (Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires I, 1944, hal. 175 -176) menyebutkan patih Udara ini dengan nama Pate Udra atau Pate Andura (Pate Amdura). M.C. Ricklefs, menghubungkan Pate Andura atau Pate Amdura ini dengan tokoh yang bernama Arta Dirya, yang disebutkan dalam Babad ing Sengkala sebagai raja yang pernah memerintah pada tahun Saka 1403-1407 / 1481 M - 1486 M (lihat : M.C. Ricklefs, Modern Javanese Historical Tradition : A Story of an Original Kartasura Chronicle and Related Materials, London, 1978, hal. 159).


Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya berusaha pula untuk mempersatukan kembali wilayah kerajaan Majapahit yang telah terpecah-pecah akibat pertentangan keluarga memperebutkan kekuasaan di Majapahit. Untuk melaksanakan cita-citanya tersebut, maka pada tahun Saka 1400 (1478 M) ia melancarkan peperangan terhadap Bhre Kertabhumi yang pada waktu itu berkedudukan di Majapahit. Sebagaimana telah diketahui bahwa Bhre Kertabhumi ini telah merebut tahta kerajaan Majapahit dari tangan Bhre Pandan Salas (ayah Ranawijaya) pada tahun 1468 M. Oleh karenanya, tindakan Ranawijaya menyerang Bhre Kertabhumi ini pada dasarnya merupakan revanche (tindakan balasan) atas perbuatan Bhre Kertabhumi tersebut. Dalam peperangan tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi, dan Bhre Kertabhumi gugur di kadaton. Peristiwa gugurnya Bhre Kertabhumi ini disebutkan pula di dalam Kitab Pararaton (" .... bhre Kertabhumi ..... bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka sunyanora-yuganing-wong, 1400", Pararaton, hal 40. Lihat pula : Hasan Djafar, Girindrawardhana, 1978, hal. 50). Dari uraian kitab Pararaton inilah kemudian muncul candrasengkala 'Sirna ilang kertining bhumi' , oleh karenanya candrasengkala tersebut pada dasarnya adalah merupakan peringatan tentang peristiwa gugurnya Bhre Kertabhumi di kadaton akibat serangan dari Dyah Ranawijaya dan bukan candrasengakala untuk memperingati keruntuhan Majapahit akibat serangan kerajaan Islam Demak.

Peristiwa serangan Ranawijaya terhadap Bhre Kertabhumi ini disebutkan di dalam prasasti Jiwu I yang dikeluarkan oleh Ranawijaya pada tahun 1486 M. Prasasti tersebut dikeluarkan sehubungan dengan pengukuhan anugerah tanah-tanah di Trailokyapuri kepada seorang brahmana terkemuka Sri Brahmaraja Ganggadhara yang telah berjasa kepada raja (Ranawijaya) sewaktu perang melawan Majapahit (Bhre Kertabhumi) sebagai ternyata dalam kalimat "duk ayunayunan yuddha lawaning Majapahit".

Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1486 M, diketahui adanya upacara sraddha untuk memperingati dua belas tahun meninggalnya Paduka Bhattara ring Dahanapura. Tokoh Bhattara ring Dahanapura ini dapat diidentifikasikan sebagai Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana (Lihat : Martha A Muuses "Singhawikramawarddhana", FBG, II, 1929, hal 207-214, lihat pula Zoetmulder ,P.J "Djaman Empu Tanakung", Laporan KIPN-II, VI, Seksi D, 1965, hal.207), yang telah meninggalkan istana Majapahit pada tahun 1468 M akibat serangan dari Bhre Kertabhumi.

Saturday, May 21, 2011

SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA (2)

Majapahit InfoDari pengikut-pengikut Kertarajasa yang disebutkan dalam Kitab Pararaton dan Kitab Kidung, ada beberapa yang kita jumpai kembali di dalam prasasti-prasasti, yaitu Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara, Pu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih, dan Pu Sora sebagai rakryan apatih di Daha. Jadi Nambi telah memperoleh kedudukan yang tinggi dalam hierarkhi kerajaan Majapahit, sedang Sora menduduki tempat ke dua. Sumber lain mengatakan bahwa Wenang atau Lawe diangkat sebagai amanca nagara  di Tuban dan adhipati di Datara. Pemimpin pasukan ke Melayu dijadikan panglima perang dengan mendapat nama Kebo Anabrang.

Tetapi rupa-rupanya ada juga yang tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya, dan hal ini merupakan sumber timbulnya pemberontakan-pemberontakan dalam dua dasa warsa yang pertama dari kerajaan Majapahit. Pertama, Rangga Lawe menyatakan tidak puas terhadap raja, mengapa bukan dia sendiri atau Sora yang dijadikan Patih di Majapahit (bahwa yang diangkat oleh Kertarajasa sebagai Patih di Majapahit adalah Nambi, dan bukan orang lain, tentulah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan kitab-kitab penuntun yang ada, antara lain Kitab Nawanatya, yang berisi uraian tentang pejabat-pejabat kerajaan, kewajiban mereka, dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat dalam jabatan tertentu, di dalam kitab tersebut antara lain dikatakan bahwa seorang Patih Amangkubumi tidak hanya harus gagah berani dalam peperangan, tetapi juga harus paham segala cabang ilmu pengetahuan, adil, bijaksana, pandai berdiplomasi, membina persahabatan, mementingkan kepentingan orang lain, tidak takut dikritik dan lain sebagainya, sedang sumber lain menyebutkan bahwa Rangga Lawe ialah seorang yang lekas naik darah dan kasar tabiatnya).

Karena itu Rangga Lawe pulang ke Tuban dan menghimpun kekuatan, usaha Wiraraja (ayahnya) untuk menginsyafkan tidak berhasil. Muncullah kemudian tokoh yang akan merupakan biang keladi dari semua kerusuhan di Majapahit yaitu Mahapati. Dialah yang mengadu kepada raja bahwa Lawe akan memberontak, maka pertempuran antara pasukan Lawe dan pasukan raja-pun berkobarlah. Peperangan ini terjadi pada tahun 1295. Dalam pertempuran tersebut Lawe gugur di tangan Kebo Anabrang tetapi kemudian Kebo Anabrang di bunuh dari belakang oleh Lembu Sora, karena ia tidak tahan melihat kematian bekas sahabatnya dalam duka nestapa. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Mahapati untuk menyingkirkan Lembu Sora serta menganjurkan agar Lembu Sora diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Berat bagi raja untuk memberi hukuman kepada Sora mengingat jasa-jasanya di masa lalu, tetapi dengan segala tipu muslihatnya Mahapati dapat memaksakan pertempuran antara pasukan Lembu Sora melawan pasukan raja pada tahun 1298 - 1300. Sora terbunuh bersama dengan pengikut-pengikutnya yaitu Juru Demung dan  Gajah Biru. Setelah Sora mati terbunuh, maka Nambi yang akan dijadikan sasaran oleh Mahapati, rupa-rupanya Mahapati sendiri mengincar kedudukan sebagai  patih amangkubumi.

Nambi mengetahui maksud jahat Mahapati, dan ia tahu Mahapati sedang mendapat kepercayaan dari raja, maka ia merasa lebih baik menyingkir saja dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya (Wiraraja) sedang sakit, maka ia meminta ijin kepada raja untuk menengok ayahnya di Lumajang.
Tetapi sementara itu raja meninggal pada tahun 1309, beliau di candikan di Antahpura dengan arca Jina dan di Simping (Sumberjati, Blitar) dengan arca Siwa. Pada faktanya di Candi Simping (Sumberjati) telah ditemukan sebuah arca perwujudan yang menunjukkan laksana campuran antara Siwa dan Wisnu (Harihara) yang diperkirakan merupakan arca perwujudan Kertarajasa.

Sunday, May 15, 2011

MAJAPAHIT : GAJAH MADA

Gajah Mada ialah Mahapatih Majapahit yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Gajah Mada diperkirakan lahir pada tahun 1300 di lereng pegunungan Kawi - Arjuna, daerah yang kini dikenal sebagai kota Malang (Jawa Timur). Sejak kecil, Gajah Mada sudah menunjukkan kepribadian yang baik, kuat dan tangkas. Kecerdasannya telah menarik hati seorang patih Majapahit yang kemudian mengangkatnya menjadi anak didiknya. Beranjak dewasa terus menanjak karirnya hingga menjadi Kepala (bekel) Bhayangkari (pasukan khusus pengawal raja). Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara (1309-1328) dan mengatasi pemberontakan Ra Kuti, ia kemudian diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Gajah Mada adalah seorang mahapatih kerajaan Majapahit yang didaulat oleh para ahli sejarah Indonesia sebagai seorang pemimpin yang telah berhasil menyatukan nusantara. Sumber-sumber sejarah yang menjadi bukti akan hal ini banyak ditemukan diberbagai tempat. Di antaranya di Trowulan, sebuah kota kecil di Jawa Timur yang dahulu pernah menjadi ibu kota kerajaan Majapahit. Kemudian di Pulau Sumbawa, di mana sebuah salinan kitab Negarakertagama di temukan. Prasasti dan candi adalah peninggalan-peninggalan masa lalu yang menjadi bukti lain pernah jayanya kerajaan Majapahit di bawah pimpinan mahapatih Gajah Mada, dengan rajanya yang berkuasa Sri Rajasanagara (Dyah Hayam Wuruk).

Peristiwa pemberontakan yang paling berdarah pada masa pemerintahan Sri Jayanegara, raja Majapahit yang kedua. Pemberontakan yang dilakukan oleh Dharmaputra Winehsuka di bawah pimpinan Ra Kuti - rekan Gajah Mada dalam keprajuritan - sampai mampu melengserkan sang prabu Jayanegara dari singgasananya untuk sementara dan mengungsi ke pegunungan kapur utara, sebuah daerah yang diberi nama Bedander.

Ra Kuti, Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Wedeng, dan Ra Yuyu pada mulanya adalah prajurit-prajurit yang dianggap berjasa kepada negara. Oleh karenanya sang prabu Jayanegara memberikan gelar kehormatan berupa Dharmaputra Winehsuka kepada kelima prajurit tersebut. Entah oleh sebab apa, mereka, dipimpin oleh Ra Kuti melakukan makar mengajak pimpinan pasukan Jala Rananggana untuk melakukan pemberontakan terhadap istana. Pada waktu itu Majapahit memiliki tiga kesatuan pasukan setingkat divisi yang dinamakan Jala Yudha, Jala Pati, dan Jala Rananggana. Masing-masing kesatuan dipimpin oleh perwira yang berpangkat Tumenggung.

Gajah Mada, pada waktu itu masih menjadi seorang prajurit berpangkat Bekel. Pangkat bekel dalam keprajuritan pada saat itu setingkat lebih tinggi dari lurah prajurit, namun masih setingkat lebih rendah dari Senopati. Pangkat di atas Senopati adalah Tumenggung, yang merupakan pangkat tertinggi. 

Gajah Mada membawahi satu kesatuan pasukan setingkat kompi yang bertugas menjaga keamanan istana. Nama pasukan ini adalah Bhayangkari. Jumlahnya tidak lebih dari 100 orang, namun pasukan Bhayangkari ini adalah pasukan khusus yang memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit dari kesatuan mana pun.

Informasi tentang adanya pemberontakan tersebut diperoleh dari seseorang yang memberitahu Gajah Mada akan adanya bahaya yang akan datang menyerang istana pada pagi hari. Tidak dijelaskan siapa dan atas motif apa seseorang tersebut memberikan informasi tersebut kepada Gajah Mada. Satu hal yang cukup jelas bahwa orang tersebut mengetahui rencana makar dan kapan waktu dilakukan makar tersebut menandakan bahwa informan tersebut memiliki hubungan yang cukup dekat dengan pihak pemberontak.

Mendapatkan informasi tersebut Gajah Mada segera melakukan koordinasi dengan segenap jajaran telik sandi yang dimiliki pasukan Bhayangkari, tidak ketinggalan terhadap telik sandi pasukan kepatihan. Saat itu mahapatih masih dijabat oleh Arya Tadah, yang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Gajah Mada.

Gajah Mada juga melakukan langkah koordinasi kekuatan terhadap tiga kesatuan pasukan utama Majapahit dengan cara menghubungi masing-masing pimpinannya. Tidak mudah bagi seorang bekel untuk bisa melakukan hal ini karena ia harus bisa menemui para Tumenggung yang berpangkat dua tingkat di atasnya. Namun, Arya Tadah yang tanggap akan adanya bahaya, telah membekali Gajah Mada dengan lencana kepatihan, sebuah tanda bahwa Gajah Mada mewakili dirinya dalam melaksanakan tugas tersebut.

Dua dari tiga pimpinan pasukan berhasil dihubungi. Namun keduanya menyatakan sikap yang berlainan. Pasukan Jala Yudha bersikap mendukung istana, sedangkan pasukan Jala Pati memilih bersikap netral. Pimpinan pasukan Jala Rananggana tidak berhasil ditemui karena pada saat itu kesatuan pasukan tersebut telah mempersiapkan diri di suatu tempat yang cukup jauh dari istana untuk mengadakan serangan dadakan keesokan harinya. Yang selanjutnya terjadi adalah perang besar yang melibatkan ketiga kesatuan utama pasukan Majapahit. Akhirnya peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak pemberontak, dan memaksa sang Prabu Jayanegara mengungsi ke luar istana dilindungi oleh segenap kekuatan pasukan Bhayangkari.

Namun, tidak seluruh anggota pasukan Bhayangkari yang memihak raja. Hal ini tentu menyulitkan tindakan penyelamatan sang prabu karena setiap saat di mana saja, musuh dalam selimut bisa bertindak mencelakai sang prabu. Hal ini yang mendorong Gajah Mada melakukan tindakan penyelamatan yang rumit sampai membawa sang prabu ke Bedander, sebuah daerah di pegunungan kapur utara.

Dengan kecerdikannya, memanfaatkan kekuatan dan jaringan yang dimiliki, akhirnya Gajah Mada berhasil mengembalikan sang prabu ke istana. Prabu Sri Jayanegara memang selamat dari kejaran Ra Kuti dan pengikut-pengikutnya. Namun, sembilan tahun kemudian, salah seorang Dharmaputra Winehsuka yang telah diampuni dari kesalahan akibat terlibat dalam pemberontakan tersebut, melakukan tindakan yang sama sekali tidak terduga : yaitu membunuh sang prabu saat diminta untuk mengobati bisul sang prabhu. Dia adalah Ra Tanca, yang akhirnya langsung dibunuh oleh Gajah Mada.

Selanjutnya silahkan membaca bagian yang kedua.


Saturday, May 14, 2011

MAJAPAHIT : WREDDHA MENTERI (2)

Dari pembacaan prasasti Pakis (prasasti Pakis, 1266, tidak lengkap, disiarkan oleh Dr. N.J. Krom dalam Rapporten, Commissie voor Oudheidkundig Onderzoek, tahun 1911, hal 117 - 123) dan prasasti Gunung Wilis (disebut juga prasasti Penampihan, 1269, termuat dalam O.J.O. hal. 189-193 ; terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh Dr. Himansu Bushan Sarkar dalam Majalah The Greater India, 1935, hal 55-70) yang dikeluarkan oleh prabu Kertanegara, terbukti tidak ada jabatan wreddha menteri. Perintah raja Kertanegara disalurkan kepada tiga mahamenteri (mahamentri katrini), kemudian disampaikan kepada para menteri urusan negara yang dikepalai oleh patih. Pada prasasti Pakis, 1266 perintah raja Kertanegara ditampung oleh rakrian mahamenteri Hino, Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda untuk urusan negara : rakrian patih, rakrian demung dan rakrian kanuruhan. Nama-nama para menteri itu tidak disebut.

Pada prasasti Gunung Wilis, 1269, perintah raja Kertanegara ditampung oleh tiga mahamenteri : Hino, Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda urusan negara : patih Kebo Arema, demung Mapanji Wipaksa dan kanuruhan Ramapati. 

Demikianlah para tanda urusan negara yang dikepalai oleh patih menampung perintah raja dari mahamenteri katrini, tanpa perantara. Jadi jabatan wreddha menteri seperti tercantum pada pelbagai prasasti Majapahit, tidak diketemukan pada jaman Singasari. Prasasti-prasasti zaman sevelum Singasari tidak menyebut adanya jabatan wreddha menteri. Dari uraian di atas jelaslah, bahwa jabatan wreddha menteri adalah ciptaan Majapahit.

Dari uraian tersbut nyata pula bahwa para tanda urusan negara pada jaman pemerintahan prabu Kertanegara di Singasari berjumlah tiga orang saja yakni patih, demung dan kanuruhan. Pada jaman Majapahit jumlah para tanda urusan negar itu mejadi lima yakni : patih, demung, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Lima orang tanda urusan negara ini sudah dikenal sejak awal pendirian kerajaan Majapahit seperti yang tercantum di dalam prasasti Penanggungan, yangk dikeluarkan pada tahun 1296. Jadi jumlah para tanda itu mengalami perubahan dari tiga (pada jaman Singasari) menjadi lima. Jumlah limatanda urusan negara itu disebut Sang Panca ri Wilwatikta, sebagaimana diuraikan dalam Negarakertagama pupuh X/1.


MAJAPAHIT : WREDDHA MENTERI (1)

Negarakertagama dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa diantara para penghadap baginda di balai Witana ialah Wreddha Menteri (menteri sepuh) dan para arya. Pupuh LXXII/1 menyinggung pengangkatan Sang Arya Atmaraja Empu Tandi sebagai wreddha menteri sepeninggal Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1364. Pupuh IX/3 menyinggung tempat duduk para menteri di paseban dan menyinggung adanya sang sumantri pinituha yakni para menteri sepuh atau wreddha menteri.


Sampai saat ini belum diperoleh penjelasan tentang fungsi jabatan wreddha menteri itu dalam hal urusan pemerintahan. Mereka itu tidak langsung berhubungan dengan jalannya pemerintahan seperti Sang Panca Wilwatikta yang disebutkan dalam pupuh X. Dalam pelbagai prasasti diuraikan dengan jelas bahwa perintah raja Majapahit disalurkan kepada tiga mahamenteri (mahamentri katrini) yakni Mahamenteri Hino, Mahamentri Halu dan Mahamentri Sirikan. Kemudian perintah itu disalurkan kepada Sang Panca Wilwatikta.


Kidung Harsawijaya pupuh II/16a dan 16b menguraikan bahwa semenjak pemecatan wreddha menteri dan pengangkatan yuwa menteri, rakyat tidak senang kepada sikap sang prabhu Kertanegara. Yang dimaksud dengan pemecatan wreddha menteri itu ialah pemecatan Wiraraja, Empu Raganata dan pujangga Santasmreti. Raja Kertanegara lebih suka mendengarkan nasehat para yuwa menteri dari pada nasehat para wreddha menteri. Kiranya yang dimaksud dengan istilah wreddha menteri dalam Kidung Harsawijaya ini berbeda dengan istilah wreddha menteri yang disebut dalam Negarakertagama dan beberapa prasasti yang akan diuraikan dalam artikel-artikel berikutnya.

Lanjutkan ke bagian kedua

Friday, May 13, 2011

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (1)

Majapahit terletak di lembah sungai Brantas di sebelah Tenggara kota Mojokerto, di daerah Tarik, sebuah daerah kecil di persimpangan Kali Mas dan Kali Porong. Konon pada akhir tahun 1292 tempat itu masih merupakan hutan belantara, penuh dengan pohon-pohon maja seperti kebanyakan tempat-tempat lainnya di lembah sungai Brantas. Berkat kedatangan orang-orang Madura, yang sengaja dikirim ke sana oleh Adipati Wiraraja dari Sumenep, hutan tersebut berhasil ditebangi dan dijadikan perladangan, dihuni oleh orang-orang Madura, pelarian dari Singosari dan pengikut-pengikut setia Sanggramawijaya, serta dinamakan Majapahit (desa).

Pada permulaan tahun 1293, ketika tentara Tar-tar di bawah pimpinan Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Messe dating ke sana, kepala desa Majapahit bernama Tuhan Pijaya (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 30), yakni Nararya Sanggramawijaya.

Baru setelah Jayakatwang berhasil dihancurkan dalam bulan April 1293 berkat serbuan tentara Tartar dengan bantuan Sanggrawijaya, desa Majapahit dijadikan pusat pemerintahan kerajaan baru, yang disebut dengan kerajaan Majapahit. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit hanya meliputi daerah kekuasaan kerajaan Singosari lama, jadi hanya sebagian dari wilayah Jawa Timur.
Sepeninggal Rangga Lawe pada tahun 1295, atas permintaan Wiraraja sesuai dengan janji Sanggramawijaya, maka kerajaan Majapahit dibelah menjadi dua (Kidung Rangga Lawe, terbutan Prof. C.C. Berg dalam seri Bibliotheca Javanica K.B.G, vol. 1, 1930). Bagian Timur yang meliputi daerah Lumajang, diserahkan kepada Wiraraja. Demikianlah pada akhir abad ketiga-belas kerajaan Majapahit itu hanya meliputi daerah Kadiri, Singasari, Janggala (Surabaya) dan pulau Madura.

Dengan penumpasan Nambi pada tahun 1316, daerah Lumajang bergabung kembali dengan Majapahit sebagaimana tercatat dalam Prasasti Lamongan (Prasasti Lamongan tidak bertarikh, menguraikan ke-swatantraan daerah Blambangan sebagai hadiah kepada masyarakat Blambangan, disiarkan oleh Dr. Purbatjaraka dalam T.B.G LXXVI, 1936, hal. 388-389). Sejak tahun 1331 wilayah Majapahit diperluas berkat penundukan Sadeng (di tepi sungai Bedadung) dan Keta (di pantai Utara dekat Panarukan) seperti diberitakan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XLVIII/2 dan XLIX/3 serta dalam kitab Pararaton. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit meliputi seluruh Jawa Timur dan Pulau Madura  (Prasasti Camunda, 1332, menguraikan bahwa Tribhuwana Tunggadewi menguasai seluruh dwipantara. Istilah dwipantara ini kiranya harus ditafsirkan sebagai hyperbol, karena pada waktu itu kekuasaan Majapahit hanya terbatas sampai Pulau Jawa dan Madura saja, tidak sama dengan istilah Nusantara dalam program politik Gajah Mada pada tahun 1334).

Selanjutnya silahkan membaca bagian kedua

Wednesday, May 11, 2011

MAJAPAHIT : GAJAH MADA (2)

Memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta

Pada tahun 1329, Patih Majapahit pada waktu itu Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Gajah Mada yang pada waktu itu menjabat Patih Kadiri sebagai penggantinya, namun Gajah Mada sendiri tidak langsung menyetujuinya. Ia ingin membuat jasa terhadap Majapahit terlebih dahulu, dengan jalan menundukkan Sadeng dan Keta yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Alkisah, Sadeng dan Keta akhirnya tunduk di bawah kaki Majapahit, dan Gajah Mada pun resmi diangkat sebagai Mahapatih Majapahit oleh Tribhuwanottunggadewi pada tahun 1334.

Pada acara pelantikannya, dengan menghunus keris pusakanya (Surya Panuluh, yang sebelumnya adalah milik Kertarajasa Jayawardhana), Gajah Mada pun mengangkat Sumpah bakti terhadap Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapa  yang pada dasarnya adalah pernyataan program politik Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara di bawah telapak kaki Majapahit.


Sumpah Palapa ini sangat menggemparkan para undangan yang hadir saat pelantikan Gajah Mada tersebut. Adalah Ra Kembar yang mengejek Gajah Mada, Jabung Trewes dan Lembu Peteng tertawa terpingkal-pingkal mendengar sumpah tersebut. Gajah Mada merasa terhina oleh mereka, karena sumpah tersebut diucapkannya dengan kesungguhan hatinya. Maka ia pun turun dari mimbar (paseban), menghadap kaki Ratu dan menyatakan kesedihannya atas penghinaan tersebut. Akhirnya setelah Gajah Mada resmi diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, iapun kemudian satu-persatu menyingkirkan Ra Kembar, sekaligus membalaskan dendamnya karema Ra Kembar telah mendahuluinya menyerbu Sadeng. Berikutnya Jabung Trewes dan Lembu Peteng, serta Warak ikut pula disingkirkannya.

Program politik Gajah Mada ini berbeda dengan program politik pendahulunya yaitu Kertarajasa dan Jayanegara. Kedua raja terdahulu ini memilih Mahapatih Majapahit dari orang-orang terdekat di sekitarnya, yang dianggap telah berjasa kepadanya, akibatnya pada masa pemerintahan kedua raja terdahulu itu, mereka hanya sibuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit, tanpa dapat memperhatikan atau menjalankan perluasan wilayah kerajaan Majapahit.

Politik penyatuan Nusantara ini dibuktikan dengan sungguh-sungguh oleh Gajah Mada dengan memperkuat armada dan pasukan Majapahit serta dibantu oleh Adityawarman, melaksanakan politik ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke tanah seberang. Atas jasa-jasanya tersebut, Adityawarman kemudian diangkat menjadi raja di tanah Melayu pada tahun 1347, untuk menanamkan pengaruh atau kekuasaan Majapahit di wilayah Sumatera sampai ke Semenanjung Tanah Melayu.

Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Majapahit di bawah perjuangan Gajah Mada pada waktu itu adalah : Bedahulu (Bali) dan Lombok pada tahun 1343, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatera), Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya dan sejumlah negeri lain di Kalimantan seperi Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei (Pu-ni), Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei dan Malano.

Politik penyatuan Nusantara ini berbuah meredanya pertumpahan darah antar kerajaan-kerajaan tersebut yang semula selalu saling mengintai dan berupaya saling menguasai melalui jalan peperangan, yang tentunya menimbulkan banyak korban, terutama rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Dengan penyatuan di bawah telapak kaki Majapahit (yang ber-semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dan Mitreka Satata), terbukti berhasil menekan peperangan sehingga membuat kerajaan-kerajaan bawahan tersebut lebih menaruh perhatian kepada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara menyeluruh. Selain itu, dengan politik penyatuan Nusantara ini, membuat Majapahit menjadi lebih kuat terutama dalam menghadapi ancaman penjajah asing pada waktu itu (Tartar/Tiongkok), sehingga dapat menggantinya menjadi hubungan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Selanjutnya silahkan membaca bagian ketiga 

Tuesday, May 10, 2011

HUBUNGAN DENGAN NEGARA TETANGGA (3)

Menurut kakawin Negarakertagama pada tahun 1365 kerajaan Campa mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit. Pada waktu itu Campa diperintah oleh Che Bong Nga, orang besar di Campa berkat kejayaannya dalam peperangannya melawan Dai Vet dari tahun 1361 sampai 1390. Masa pemerintahannya bertepatan dengan masa pemerintahan Dyah Hayam Wuruk di Majapahit yakni dari tahun 1351 sampai 1389. Baik jalannya sejarah maupun keruntuhannya, kerajaan Campa hampir mirip dengan kerajaan Majapahit. Che Bong Nga digantikan oleh Ngaut Klaung Wijaya yang memerintah Campa dari tahun 1400 sampai 1441 dan mengambil nama abhiseka Indrawarman pada tahun 1432. Ia berjaya menyelamatkan negaranya dari ancaman Dai Viet, namun sepeninggalnya timbullah perang saudara. Dalam masa tiga puluh tahun semenjak matinya Indrawarman, Campa diperintah oleh lima orang raja dari pelbagai dinasti, ganti berganti melalui peperangan yang melemahkan kedudukan negara, sehingga pada tahun 1471 diserang oleh Vietnam. Kerajaan Campa runtuh dan sejak itu diduduki oleh bangsa Vietnam serta tidak pernah bangun lagi.

Serat Kanda dan Babat Tanah Jawi memberitakan bahwa pada permulaan abad limabelas raja Brawijaya dari Majapahit kawin dengan puteri Campa (seorang muslim) yang bergelar puteri Dwarawati. Oleh karena puteri Campa itu meninggal pada tahun 1448 seperti tercatat dalam batu nisannya di Trawulan (Dr. J.L.A. Brandes, Pararaton, hal. 197). Ia meninggalkan Campa kira-kira pada jaman pemerintahan Indrawarman. Hal yang membingungkan adalah, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya agama Islam di Campa sebelum tahun 1471, sehingga berita tentang puteri Campa (oleh Pararaton) di atas sama sekali tidak cocok dengan epigrafi Campa, oleh karenanya persoalan ini merupakan persoalan yang tidak gampang pemecahannya.
Sebaliknya pengumuman kaisar T'ai-tsu pada tahun 1370 yang mendirikan dinasti Ming sejak jatuhnya dinasti Yuan pada tahun 1368, jelas-jelas menyatakan bahwa pada tahun 1370 Campa telah mengadakan hubungan persahabatan dengan Cina. Hubungan persahabatan ini meningkat pada permulaan abad limabelas dalam pemerintahan kaisar Yung-lo berkat aktivitas duta keliling Cheng-Ho. Campa merupakan pelabuhan penting dan dijadikan pangkalan untuk melancarkan aktivitas Cheng Ho ke daerah-daerah Asia Tenggara. Kiranya persoalan Puteri Campa ini perlu dikaitkan dengan aktivitas duta keliling Cheng Ho tersebut, yang memang jelas-jelas telah memeluk agama Islam. Masalah ini dibahas dalam tulisan yang berjudul "The Coming of Islam to Majapahit" (Slametmuljana, "Islam in Java before the foundation of Islamic state of Demak" di Nanyang Society Journal, vol. 27, hal. 41-82).

Mengenai hubungan antara Majapahit di satu pihak dan Kamboja serta Dai Viet (Yawana) di lain pihak, seperti dinyatakan dalam Negarakertagama pupuh XV, tidak terdapat beritanya, baik dalam karya-karya sejarah maupun dalam epigrafi.

HUBUNGAN DENGAN NEGARA TETANGGA (2)

Dharmanagari di pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu, di bagian Selatan Siam, terkenal sebagai Ligor atau Nakhon Sithammarat, adalah kerajaan lama yang dikenal sejak abad delapan seperti tercatat dalam prasasti Ligor. Pada waktu itu menjadi negara bawahan Sriwijaya. Pada tahun 1350, ketika Ramadhipati mendirikan kerajaan Dwarawati yang berpusat di Ayudhya, Dharmanagari masih tetap berdiri sebagai negara merdeka dan mengadakan hubungan persahabatan dengan Majapahit. Bahkan ketika Rama Khamheng dari Sukhothai pada akhir abad tiga belas menegakkan kekuasaannya di wilayah Indo-Cina, Dharmanagari tetap bertahan. Oleh karena dalam abad empat belas seluruh Semenanjung Melayu dari Tumasik sampai Semang adalah daerah bawahan Majapahit, sedangkan daerah sebelah Baratnya dikuasai oleh Ayudhya, maka Dharmanagari hanya merupakan kerajaan kecil, terjepit antara Ayudhya dan daerah bawahan Majapahit.

Marutma, biasa disamakan dengan Martaban (G. Coedes, The Indianized of Southeast Asia, 1968 hal. 219) terletak di delta sungai Saluen, adalah kerajaan Mon. Sejak timbulnya kerajaan Burma dan Sukhothai dalam abad tigabelas, kerajaan Mon ini menjadi rebutan antara bangsa Burma dengan bangsa Thai. Pada tahun 1201 kerajaan Mon berhasil dikuasai oleh Waweru dari suku Thai dengan bantuan Tarabaya yang mengakibatkan kematian kedua belah pihak. Martaban pada tahun 1318 jatuh dalam kekuasaan bangsa Thai di bawah peemerintahan Lai Thai, putera Rama Khamheng ; diperintah bangsa Thai sampai tahun 1347, ketika bangsa Mon berhasil menggulingkan kekuasaan Lai Thai dan membebaskan negaranya dari kekuasaan bangsa Thai. Demikianlah dalam pertengahan abad empatbelas kerajaan Mon di Martaban adalah negara merdeka dan menjadi tetangga daerah bawahan Majapahit di Semenanjung Melayu.

Kerajaan Campa dengan ibukota Wijaya (Caban) di dekat kota Binhdinh, terletak di pantai Timur Vietnam, adalah kerajaan lama yang telah dikenal sejak permulaan abad Masehi. Campa mengadakan hubungan persahabatan dengan Jawa sejak jaman pemerintahan raja Kertanegara yang memerintah Singasari dari tahun 1270 sampai tahun 1292. Konon puteri Tapasi dari Singasari kawin dengan raja Jaya Singawarman III dari Campa (G. Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, 1968, hal. 217). Berkat perkawinan itu raja Jaya Singawarman melarang tentara Tartar yang berlayar ke Jawa pada akhir tahun 1292 untuk menghukum raja Kertanegara, mendarat di pantai Campa.

Pada tahun 1314 Campa diperintah oleh Tran-Minh-tong, yang juga dikenal sebagai Che Nang dalam sejarah Vietnam. Setelah gagal usahanya untuk merebut kembali daerah bagian Utara dari kekuasaan bangsa Vietnam, ia diusir dari negaranya. Konon Che Nang mengungsi ke Jawa pada tahun 1318, pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Jayanegara.

Silahkan melanjutkan ke bagian ketiga.

HUBUNGAN DENGAN NEGARA TETANGGA (1)

Kakawin Negarakertagama pupuh XV/1 mencatat nama beberapa negara tetangga yang konon mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit seperti Syangka, Ayudhapura, Dharmanagari, Marutama, Rajapura, Campa, Kamboja dan Yawana. Daftar nama itu hampir serupa dengan nama-nama yang disebut dalam pupuh LXXXIII/4 tentang tamu-tamu asing yang sering berkunjung ke Majapahit, terutama para pedagang dan para pendeta. Banyak diantara para pendeta asing yang menetap di Majapahit berkat pelayanan yang baik. Mereka itu adalah penyebar kebudayaan India. Berkat usahanya Hinduisme di Majapahit bertambah kuat. Mungkin sekali hubungan persahabatan itu terutama didasarkan atas kunjungan para pedagang dan pendeta, bukan karena adanya perwakilan asing timbal-balik di negara-negara yang bersangkutan seperti pada jaman sekarang. Tali persahabatan itu dimaksudkan sebagai usaha untuk menghindarkan serbuan tentara asing di daerah bawahan Majapahit di seberang lautan, terutama di Semenanjung Tanah Melayu, karena negara-negara tetangga itu kebanyakan berbatasan atau berdekatan dengan daerah bawahan tersebut. Lagi pula sebagian besar negara-negara tetangga itu menganut agama Hindu/Budha seperti Majapahit.

Hubungan antara Syangka (Sri Langka) dan Majapahit mungkin telah dimulai sejak pemerintahan Jayanegara, karena dalam prasasti Sidateka, 1323, raja Jayanegara menggunakan nama abhiseka Sri Sundarapandya Adiswara, sedangkan unsur pandya mengingatkan dinasti Pandya di Sri Langka. Nama Sri Langka sudah dikenal dalam abad tigabelas sebagai negara bawahan Sriwijaya. Mungkin sekali persahabatan antara Sri Langka dan Majapahit terutama akibat kunjungan pendeta-pendeta Budha dari Sri Langka ke Majapahit.
Hubungan antara Ayudya (G. Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, 1968, hal. 222-223) dan Majapahit bertarikh sekitar tahun 1350, setelah Ramadhipati berhasil menyerbu Sukhotai dan menawan raja Lu Thai pada tahun 1349, kemudian mendirikan kerajaan Dwarawati. Negara baru Dwarawati yang berpusat di Ayudhya banyak dipengaruhi oleh negara tetangganya yang bercorak Hindu. Dari Khmer di sebelah Timurnya, negara Dwarawati mengambil pola pemerintahan, kebudayaan, kesenian dan sistem tulisan. Dari bangsa Mon dan Burma di sebelah Baratnya, mengambil pola perundang-undangan yang bersumber pada perundang-undangan India, sedangkan dari Sri Langka mengambil agama Budha.

Silahkan melanjutkan ke bagian kedua

Monday, May 9, 2011

SURYA MAJAPAHIT (LAMBANG KERAJAAN)

Surya Majapahit (Matahari Majapahit) adalah lambang kerajaan Majapahit yang kerap kali dapat ditemukan pada reruntuhan bangunan-bangunan (candi-candi) peninggalan Majapahit. Lambang ini mengambil bentuk matahari bersudut delapan, dengan bagian lingkaran di tengahnya yang menampilkan pahatan dewa-dewa agama Hindu yang terkenal. Lambang ini membentuk lingkaran kosmologis, yang disinari dengan jurai matahari khas "Surya Majapahit" atau lingkaran Matahari dengan bentuk jurai sinarnya yang khas, sehingga para ahli purbakala menduga lambang ini merupakan lambang kerajaan Majapahit.
Gambar di samping atas menunjukkan lambang Majapahit tersebut, dengan variasinya seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini.


 




Uraian secara lengkap mengenai arti dari kedua lambang tersebut dapat dibaca di sini

RAJA-RAJA BAWAHAN MAJAPAHIT

Berikut ini adalah daftar raja-raja bawahan kerajaan Majapahit.
 


RAJA-RAJA MAJAPAHIT

Berikut ini adalah daftar raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Majapahit.
 



SANG PANCA WILWATIKTA

Majapahit dengan sumber sejarahnya yang berupa kitab Negarakertagama  di dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa Sang Panca Wilwatikta mempunyai hubungan yang rapat dengan Istana (Majapahit). Dalam pupuh itu dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan Sang Panca Wilwatikta adalah lima orang pembesar dalam pemerintahan Majapahit  adalah Patih, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Kelima pembesar tersebut diserahi pelaksanaan pemerintahan Majapahit, menjadi pembantu utama Sang Prabu dalam urusan pemerintahan.

Diantara lima pembesar tersebut Patih adalah merupakan jabatan yang tertinggi, Negarakertagama pupuh X/2 menyebutnya amatya ring sanagara yang artinya patih seluruh negara. Sebutan ini hanya diperuntukkan bagi Patih Majapahit untuk membedakannya dengan patih-patih di negara bawahan, seperti Daha, Kahuripan, Wngker, Matahun dan sebagainya.

Dalam pupuh tersebut juga disinggung bahwa patih negara bawahan dan para pembesar lainnya seperti Demung berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada, jadi dengan demikian seluk beluk pemerintahan seluruh negara Majapahit ditentukan oleh Maha Patih Majapahit. Para patih dan pembesar negara bawahan menerima perintah dari Patih Majapahit dan memberikan laporan tentang keadaan negara-negara bawahan kepada sang patih. Demikianlah patih negara bawahan biasa disebut dengan patih saja, ia melaksanakan pemerintahan di negara bawahan, sedangkan patih seluruh negara memberikan perintah dan arahan tentang bagaimana menjalankan pemerintahan di negara bawahan atau di daerah. Dalam kitab Pararaton, patih seluruh negara itu disebut dengan istilah Patih Amangkubhumi, istilah ini tidak terdapat di dalam Negarakertagama.

Read more: DI SINI

PEREBUTAN KEKUASAAN SETELAH HAYAM WURUK WAFAT (2)

Pada awal masa pemerintahannya (Bhre Tumapel) pada tahun 1447 ia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu berkenaan dengan pengukuhan perdikan dharma (dharma sima) Rajasakusumapura di Waringinpitu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh neneknya Sri Rajasaduhiteswari Dyah Nrttaja untuk memuliakan Sri Paduka Parameswara Sang mokta ring Sunyalaya. Di dalam prasastinya ia disebut bergelar Wijayaparakramawarddhana. Ia tidak lama memerintah, pada tahun 1451 ia meninggal dan didharmakan di Krtawijayapura.

Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikan menjadi raja dengan bergelar Sri Rajasawarddhana, ia dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara. Asal usulnya tidak jelas diketahui, namun dalam prasasti Waringin Pitu diketahui bahwa Rajasawarddhana disebutkan pada urutan ke tiga setelah reja, dan pada tahun 1447 ketika prasasti itu dikeluarkan oleh Kertawijaya, ia berkedudukan sebagai Bhatara ring Kahuripan. Dari kenyataan ini tidak disangsikan lagi bahwa pada masa pemerintahan Kertawijaya, Rajasawarddhana telah memiliki kedudukan yang tinggi dan penting di kerajaan Majapahit.

Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa pada waktu menjadi raja, Rajasawarddhana berkedudukan di Keling-Kahuripan, dengan demikian ia tidak berkedudukan di ibu-kota Majapahit, melainkan telah memindahkan pusat pemerintahannya di Keling-Kahuripan. Hal ini mungkin pula disebabkan karena keadaan politik di Majapahit masih tetap memburuk akibat pertentangan keluarga yang belum juga mereda. Ia memerintah hampir tiga tahun lamanya, dan pada tahun 1453 ia meninggal dan didharmakan di Sepang

Menurut kitab Pararaton, sepeninggal Rajasawarddhana selama tiga tahun (1453-1456) Majapahit mengalami kekosongan tanpa raja (interregnum). Sebab-sebab terjadinya kekosongan ini tidak dapat diketahui secara pasti, dugaan kuat hal ini disebabkan karena masih berkecamuknya pertentangan memperebutkan kekuasaan di antara keluarga raja-raja Majapahit. Pertentangan keluarga yang berlangsung berlarut-larut ini rupa-rupanya telah melemahkan kedudukan raja-raja Majapahit baik di pusat maupun di daerah, hasilnya sepeninggal Rajasawarddhana tidak ada seorangpun diantara keluarga raja-raja Majapahit yang sanggup tampil untuk segera memegang tampuk pemerintahan di Majapahit.

PEREBUTAN KEKUASAAN SETELAH HAYAM WURUK WAFAT (1)

Sepeninggal raja Hayam Wuruk, tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana (Bhra Hyang Wisesa) yang sebenarnya adalah menantu sekaligus keponakan dari raja Hayam Wuruk karena pernikahannya dengan puteri Hayam Wuruk yang bernama Kusumawardhani. Seharusnya yang menjadi raja menggantikan Hayam Wuruk adalah Kusumawardhani sendiri (selaku puteri mahkota yang lahir dari permaisuri Paduka Sori). Wikramawardhana sendiri adalah putera Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari, yaitu adik Hayam Wuruk yang menikah dengan Bhre Paguhan, Singhawarddhana.

Wikramawarddhana mulai memerintah Majapahit dari tahun 1389 selama dua belas tahun, dan pada tahun 1400 ia mengundurkan diri dari pemerintahan, menjadi seorang pendeta (bhagawan), dan mengangkat anaknya yang bernama Suhita (dalam Pararaton disebut dengan Sri Ratu Prabu-stri, dan ada juga yang menyebut Kencono Wungu). Suhita adalah anak kedua dari Wikramawarddhana, anak pertamanya adalah Bhre Tumapel yang meninggal pada tahun 1399 sebelum dinobatkan menjadi raja.

Duduknya Suhita di atas tahta kerajaan Majapahit ini ternyata menimbulkan pangkal kericuhan di Majapahit, yaitu timbulnya perseteruan keluarga antara Wikramawaddhana dengan Bhre Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari isteri selir, sehingga tidak berhak atas tahta Majapahit dan telah diberi kewenangan atas bumi Blambangan). Bhre Wirabhumi tidak setuju atas pengangkatan Suhita menjadi raja Majapahit, dan sejak tahun 1401 timbullah persengketaan yang setelah tiga tahun semakin memuncak menjadi suatu huru-hara yang dikenal dengan peristiwa paregreg. Kedua belah pihak mengumpulkan orang-orangnya, menghimpun kekuatan dan akhirnya terjadilah perang saudara.

Dalam peperangn tersebut mula-mula Wikramawarddhana dari kadaton kulon menderita kekalahan, akan tetapi kemudian setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel (Bhra Hyang Parameswara) ia akhirnya dapat mengalahkan Bhre Wirabhumi dari kadaton wetan. Bhre Wirabhumi kemudian melarikan diri naik perahu, ia dikejar oleh Raden Gajah (di dalam Pararaton tokoh ini berkedudukan sebagai Ratu Angabdhaya dan bergelar Bhra Narapati) dan tertangkap, kemudian dibunuh dan dipenggal kepalanya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1406.

Peperangan antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi ini disebutkan pula di dalam berita Cina yang berasal dari jaman dinasti Ming (1368-1643). Di dalam buku sejarah Dinasti Ming (Ming Shih) jilid ke 324, disebutkan bahwa setelah kaisar Ch'eng-tsu naik tahta pada tahun 1403, ia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa (Majapahit), ia mengirimkan utusan-utusannya kepada raja 'bagian-Barat' Tu-ma-pan dan raja 'bagian Timur' Put-ling-ta-ha (Pi-ling-da-ha). Pada tahun 1405 Laksamana Cheng-Ho memimpin sebuah armada perutusan ke Jawa, dan pada tahun berikutnya ia menyaksikan kedua raja Majapahit tersebut saling berperang. Kerajaan bagian Timur disebutkan menderita kekalahan dan kerajaannya dirusak. Berita Cina tersebut mengemukakan pula bahwa pada waktu terjadi perang antara kedua raja tersebut perutusan Cina sedang berada di kerajaan bagian Timur, bahkan serangan tentara kerajaan bagian Barat itu telah menyebabkan ikut terbunuhnya 170 orang Cina.

Walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal, peristiwa pertentangan keluarga itu belum reda juga, bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi benih balas dendam dan persengketaan keluarga itu menjadi semakin belarut-larut. Pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi.

Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1477, ia didharmakan di Singhajaya bersama-sama dengan suaminya Bhra Hyang Parameswara (Aji Ratnapangkaja) yang telah meninggal pada tahun 1446, karena Suhita tidak memiliki anak, maka sepeninggalnya tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh adiknya Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya.

Selanjutnya silahkan baca di perebutan kekuasaan (bagian kedua)

HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH (3)

Perluasan wilayah kekuasaan juga membawa dampak peningkatan hubungan dagang antara pusat dan daerah. Pelabuhan Tuban, Gresik dan Surabaya ramai dikunjungi pedagang dari daerah dan negara-negara asing tetangga. Ma Huan (Ying-yai Sheng-lan, dalam Groeneveldt, W.P, Notes on the Lalay Archipelago dan Malacca, compiled from Chinese sources, VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960, hal. 45-48) yang mengunjungi Majapahit pada tahun 1413 (setelah Majapahit mengalami kemunduran) menjelaskan bahwa pelabuhan-pelabuhan tersebut banyak didiami oleh pedagang Cina dan asli yang kaya-kaya. Segala macam barang dagangan banyak diperjual-belikan di situ. Mutu manikam dan barang-barang buatan luar negeri banyak diborong oleh pedagang asli dalam jumlah besar. Namun yang banyak disukai adalah barang pecah belah dari porselen Cina yang berbunga hijau, kain sutera dan lenan, baik polos maupun berbunga, dan minyak wangi. Rupanya pada waktu itu di antara pelbagai hasil bumi, beras merupakan bahan ekspor utama Majapahit, karena sudah sejak lama pulau Jawa terkenal sebagai daerah penghasil padi ; dua kali setahun panen padi. Mata uang tembaga Cina dari pelbagai dinasti laku di pelabuhan itu.
Kakawin Negarakertagama dalam pupuh LXXXIII/3 juga menjelaskan bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnataka (Mysore di India) datang ke Majapahit. Boleh dipastikan bahwa sebaliknya pedagang-pedagang Jawa berlayar ke tempat-tempat tersebut. Berkembangnya perdagangan membawa kemakmuran kepada negara dan peningkatan kesejahteraan di lingkungan rakyat. Berkat kunjungan pedagang-pedagang asing itu maka nama Majapahit yang biasa disebut dengan Jawa saja, menjadi mashur di luar negeri. Dengan agak berlebih-lebihan Prapanca mengatakan bahwa pada waktu itu Jawa dan Jambudwipa adalah negara utama di dunia. Pada hakekatnya ia ingin mengatakan bahwa dalam abad yang ke empatbelas, Majapahit merupakan kekuasaan besar di wilayah Asia. Berkembangnya hubungan dagang antara Majapahit dengan daerah-daerah di Nusantara ini dapat dipahami, karena hasil bumi dari daerah perlu dijual di pasaran, sedangkan pedagang asing yang memerlukannya kebanyakan berkunjung di pelabuhan Tuban, Gresik dan Surabaya, sehingga pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pusat perdagangan pada abad empatbelas.

Negarakertagama dalam pupuh XVI memberitakan bahwa pada musim-musim tertentu pemerintah pusat mengirimkan pegawai dan pendeta-pendeta ke daerah untuk menarik upeti. Ditegaskan bahwa disamping tugas utama itu para pendeta dianjurkan menyebarkan agama dan memberantas penyesatan. Para pendeta Budha hanya diijinkan menyiarkan agamanya di daerah sebelah Timur Jawa, sedangkan para pendeta Siwa boleh menjelajah segala pulau untuk menyiarkan agamanya tanpa mengenal pembatasan.

Foto di samping ini menunjukkan patung pendeta Siwa.


Dalam abad empat belas, agama dan sastera yang merupakan unsur pokok kebudayaan menjadi monopoli kaum pendeta. Dengan sendirinya kedatangan para pendeta di daerah-daerah itu berarti terjadi penyebaran kebudayaan Jawa di daerah Nusantara. Mungkin banyak pula diantara pendeta Jawa yang lalu menetap di daerah demi kepentingan agamanya. Tidaklah mengherankan bahwa nama Majapahit yang biasa disamakan dengan Jawa saja, terkenal di berbagai tempat di Nusantara dan pengaruh Jawa karenanya mulai berakar di daerah-daerah. Dongengan-dongengan setempat tentang pembesar daerah ke pusat kerajaan Majapahit untuk mempelajari adat-istiadat atau meminang puteri Majapahit tercatat dalam pelbagai hikayat daerah. Sebaliknya dongengan-dongengan tentang bangsawan-bangsawan Majapahit ke daerah, yang kemudian diangkat sebagai pembesar daerah setempat, terdapat pula dalam hikayat-hikayat daerah. Meskipun dalam hal ini terdapat anakhronisme, namun intinya menunjukkan persebaran pengaruh Jawa ke daerah-daerah Nusantara.

PUNAKAWAN, BUDAYA ASLI MAJAPAHIT (2)

Nama punakawan Punta, Prasanta dan Juru Deh hanya dikenal dalam kakawin (karya sastra) Ghatotkacasraya, nama punakawan itu dikenal kembali dalam seni panggung wayang gedog tentang cerita panji sebagai Jodeg Santa (kontaminasi dari Juru Deh dan Prasanta).
Dalam jaman Singosari-Majapahit nama punakawan tersebut tidak dikenal, yang muncul pada waktu itu adalah punakawan Semar seperti yang nyata-nyata muncul dalam hiasan/relief Candi Tigowangi (1358 M) dan Candi Sukuh (1439 M), dalam cerita Sudamala. Karya sastra Sudamala ini menceritakan peranan punakawan Semar secara lebih berkesan bila dibandingkan dengan tokoh Juru Deh, Prasanta dan Punta di atas. Dalam karya sastra Sudamala tersebut jelas sekali peranan Semar sebagai punakawan dan pelawak. Segala gerak-gerik dan ucapannya serba menggelikan. Relief/pahatan yang terdapat pada candi Tigawangi dan candi Sukuh juga menggambarkan hal yang serupa, yaitu ujud Semar yang lucu, serta tandang-tanduknya yang serba menggelikan. Diantaranya Semar memanjat di atas bangkai raksasa Kalanjaya, yang telah mati terbunuh oleh Sudamala.
 
Jelaslah dalam hal ini bahwa punakawan Semar yang tertua bertarikh pada jaman Majapahit yaitu disekitar tahun 1358 M (Candi Tigawangi), meskipun pada relief di candi tersebut terlihat beberapa punakawan yang lain, namun yang disebutkan dalam karya sastra Sudamala hanya seorang saja, yakni Semar.


Tokoh Semar pada relief candi Sukuh

Dalam seni panggung wayang pada jaman Surakarta dan Jogyakarta, jumlah punakawan bertambah menjadi tiga (versi Surakarta) dan menjadi empat (versi Jogyakarta) yaitu : Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka bertindak sebagai pelawak, yang disamping membadut, juga memberikan komentar tentang segala perkara yang timbul dari pikiran Si Dalang. Mereka tetap menjadi punakawan keluarga Pandawa, terutama sebagai punakawan Arjuna.

Semua tokoh punakawan memiliki bentuk tubuh yang agak istimewa, Semar digambarkan sebagai seorang yang tua, berkuncung putih, bermata rembes, berkaki pendek, berpantat besar, bentuknya seperti penyu atau kura-kura. Gareng tangannya ceko, kakinya pincang, matanya juling, hidungnya bulat seperti buah terong. Petruk hidungnya panjang, perutnya bekel, mulutnya selalu tertawa, berperawakan tinggi-kurus dan berkuncir. Bagong orangnya pendek, mulutnya lebar dan matanya sebesar terbang.

Sebagai imbangan diciptakan tokoh Togog dan Bilung, kedua-duanya sebagai pamong tokoh seberang lautan. Togog dan Bilung menjadi lambang kelemahan dan kekalahan, karena tiap tokoh yang diikutinya (dalam cerita) selalu dapat dikalahkan oleh tokoh Pandawa yang diikuti oleh Semar. Togog orangnya pendek, mulutnya lebar, bibirnya menjulur ke muka. Bilung orangnya pendek kecil, warna kulitnya hitam, kepalanya penuh kudis.

Gambar Belangkas