Showing posts with label SERBA-SERBI. Show all posts
Showing posts with label SERBA-SERBI. Show all posts

Thursday, June 9, 2011

PATIH AMANGKUBHUMI KERAJAAN MAJAPAHIT

Mengulas tentang kerajaan Majapahit membutuhkan pengetahuan yang mendalam dari berbagai aspek pandang, Majapahit menyisakan berjuta teka-teki, sejarah Majapahit menarik untuk disimak.

Tersebutlah jabatan Patih Amangkubhumi pada masa kerajaan Majapahit yang merupakan sebuah jabatan strategis serta menentukan maju-mundurnya kerajaan Majapahit. Jabatan ini dapat disamakan dengan jabatan Perdana Menteri pada era pemerintahan modern saat ini. Seorang Patih Amangkubhumi adalah pemimpin utama jalannya roda pemerintahan di masa kerajaan Majapahit. Berhasil tidaknya pejabat ini dalam melaksanakan tugasnya dapat dinilai dari maju-mundurnya kerajaan Majapahit pada suatu kurun masa tertentu. Jabatan Patih Amangkubhumi ini adalah merupakan patih pemimpin lima pejabat tinggi kerajaan yang dimanifestasikan dalam Sang Panca ring Wilwatikta.

Baiklah, lewat tulisan ini akan sedikit diuraikan mengenai personil atau siapa-siapa yang pernah menjabat sebagai Patih Amangkubhumi di era pendirian hingga 'tenggelamnya' kerajaan Majapahit yaitu kurun waktu sejak tahun 1293 M hingga sekitar tahun 1500 M.

Rakryan Apatih Mpu Tambi (Nambi) adalah Patih Amangkubhumi pertama kali yang menjabat pada era pemerintahan Sri Kertarajasa Jayawardhana sampai kepada permulaan masa pemerintahan Prabhu Jayanegara, tepatnya berkisar antara tahun 1293 M sampai dengan 1316 M. Akhir dari jabatan Mpu Tambi adalah dengan adanya penyerangan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapati ke wilayah Lumajang.
Mpu Tambi (Nambi) sebagai Patih Amangkubhumi ini dijelaskan di dalam prasasti Penanggungan yang berangka tahun 1296 M, yang isinya antara lain menyebutkan : "Rakrian Patih : Empu Tambi ; Rakrian Patih Daha : Empu Sora ; Rakrian Demung : Empu Renteng ; Rakrian Demung Daha : Empu Rakat ; Rakrian Kanuruhan : Empu Elam ; Rakrian Rangga : Empu Sasi ; Rakrian Rangga Daha : Empu Dipa ; Rakrian Tumenggung : Empu Wahana ;  Rakrian Tumenggung Daha : Empu Pamor ; Sang Nayapati : Empu Lunggah ; Sang Pranaraja : Empu Sina ; Sang Satyaguna : Empu Bango"

Mahapati (Dyah Halayudha) adalah Patih Amangkubhumi kedua yang menjabat pada era pemerintahan Prabhu Jayanegara, yaitu tepatnya berkisar antara tahun 1316 M sampai dengan 1328 M. Jabatan Patih Amangkubhumi diperolehnya setelah penyerangan ke Lumajang (yang berhasil menghancurkan benteng pertahanan Mpu Tambi di Pajarakan dan Lumajang) dan kemudian berakhir sesaat setelah terjadinya peristiwa Pa-Tanca (pembunuhan Prabhu Jayanegara oleh seorang dharmaputera yang bernama Ra-Tanca). Nama Mahapati banyak disebut dalam kitab Pararaton dan tidak pernah disebut dalam prasasti-prasasti manapun.
Kita simak prasasti Sidateka berangka tahun 1323 M yang dikeluarkan oleh Prabhu Jayanegara, pada lempengan 6 baris ke delapan terbaca : " ... rake tuhan mapatih ring Majapahit Dyah Halayudha .." artinya Dyah Halayudha adalah Patih Majapahit yang bergelar rakai. Dengan demikian Mahapati (dalam kitab Pararaton) dapat kita identifikasi sebagai Dyah Halayudha (prasasti Sidateka).

Arya Tadah (Mpu Krewes) adalah Patih Amangkubhumi ketiga yang menjabat setelah terjadinya peristiwa Pa-Tanca, atau bersamaan dengan naiknya Tribhuwanatunggadewi sebagai raja Majapahit, yaitu mulai sekitar tahun 1328 M sampai dengan tahun 1334 M. Kitab Pararaton menuturkan bahwa Arya Tadah ini sering sakit-sakitan, sehingga pada tahun Saka 1251 (1329 M) ia mengajukan pengunduran diri sebagai Patih Amangkubhumi kepada rani Tribhuwanatunggadewi, namun hal ini ditolak. Bertepatan dengan itu, pada tahun 1329 M itu pula, rani Tribhuwanatunggadewi mengeluarkan prasasti Berumbung, namun dalam prasasti ini tidak tercatat nama Arya Tadah sebagai Patih Amangkubhumi. Prasasti Berumbung tersebut, pada baris ke 5 menyebutkan : " .. rakryan mapatih namawisita : Pu Krewes ...". Atas dasar tulisan prasasti inilah, maka Arya Tadah (kitab Pararaton) dapat diidentifikasi sebagai Mpu Krewes (prasasti Berumbung)


Penulis : J.B. Tjondro Purnomo ,SH

Bersambung  ................. ke bagian kedua

Wednesday, June 8, 2011

MELURUSKAN SEJARAH MAJAPAHIT ? BOHONG !

"Meluruskan Sejarah Majapahit" adalah sebuah buku tulisan Irawan Djoko Nugroho, infonya dapat di lihat di sini : http://www.facebook.com/topic.php?uid=78845515468&topic=12527 (facebook) dan di sini : http://catalogue.nla.gov.au/Record/4767070 (katalog buku). Sang penulis mengaku alumnus Universitas Gajah Mada, Jogyakarta jurusan/fakultas Filologi.

Beberapa hal yang tertulis di dalam buku karangan beliau (Meluruskan Sejarah Majapahit) adalah tidak benar alias salah kaprah. Alih-alih 'meluruskan sejarah Majapahit' tetapi pada faktanya malah "Membelokkan Sejarah Majapahit". Artikel atau tulisan ini akan membahas pembelokan-pembelokan tersebut secara bersambung atau berkelanjutan.

Pembelokan pertama disebutkan bahwa Gajah Mada (sebagai mahapatih Majapahit) ternyata ada dua orang, yang pertama hidup pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi/Hayam Wuruk dan yang kedua hidup pada masa pemerintahan Brawijaya V. Selanjutnya dikatakan bahwa Gajah Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara adalah Gajah Mada yang ke-2, yang hidup pada masa pemerintahan Brawijaya V.



Landasan atau dasar yang dipergunakan memperkuan alibi atau pernyataannya adalah  :
  1. Babad Tanah Jawi
  2. Babad Demak I
  3. Hikayat Hang Tuah
  4. Hikayat Raja-raja Pasai
  5. Prasasti Wijaya Parakrama-Wardhana tahun 1447 M.
Berita-berita tradisi yang berupa babad atau hikayat pada dasarnya merupakan sumber sejarah yang lemah kedudukannya dalam artian tidak dapat dipergunakan sebagai acuan dasar untuk menuliskan sejarah suatu bangsa, apalagi untuk menuliskan sejarah berdirinya atau kelangsungan hidup suatu kerajaan dalam hal ini kerajaan Majapahit. Banyak uraian babad-babad atau hikayat yang bertentangan dengan isi suatu prasasti (yang merupakan sumber otentik).
Baiklah kita tinjau uraian Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam bukunya Sejarah Nasional Indonesia II, terbitan Balai Pustaka tahun 1993, pada halaman 448 disebutkan hal yang demikian :
"Berita tradisi menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit runtuh pada tahun Saka 1400 (1478 M). Saat keruntuhan itu disimpulkan dalam candrasengkala sirna-ilang-kertining-bumi (Serat kanda dan Babad ing sengkala -penulis-) dan disebutkan pula bahwa keruntuhannya itu disebabkan karena serangan dari kerajaan Islam Demak. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang sampai kepada kita (penulis buku -penulis-) ternyata bahwa pada saat itu kerajaan Majapahit belum runtuh dan masih berdiri untuk beberapa waktu yang cukup lama lagi. Prasasti-prasasti batu yang berasal dari tahun 1486 M masih menyebut adanya kekuasaan kerajaan Majapahit. Rajanya yang berkuasa pada waktu itu bernama Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana, bahkan ia disebutkan pula sebagai seorang Sri Paduka Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunatha"

Dari uraian tersebut di atas dapatlah kita tarik suatu kesimpulan bahwa sebenarnya berita-berita tradisi (dalam bentuk babad ataupun hikayat) adalah sangat-sangat lemah kedudukannya bilamana akan dipergunakan sebagai sumber untuk  menuliskan suatu sejarah. Sumber utama yang terpenting adalah prasasti-prasasti, baru kemudian catatan perjalanan saksi-saksi sejarah. Selanjutnya berita-berita tradisi hanya bersifat pelengkap.
Dengan demikian sumber-sumber tulisan Irawan Djoko Nugroho (Meluruskan Sejarah Majapahit) yang berbentuk babad dan atau hikayat (Babad Tanah Jawi, Babad Demak I, Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Raja-Raja Pasai) sangat-sangat lemah kedudukannya, dalam artian tidak dapat dipergunakan sebagai sumber untuk menuliskan sejarah.

Selanjutnya, bila kita tinjau prasasti Wijaya-Parakrama-Wardhana tahun 1447 M, tidak pernah disebutkan nama Gajah Mada sebagai patih Brawijaya V, yang ada adalah nama patih Gajah Geger. Nama 'Gajah Geger' ini oleh penulis buku (Irawan Djoko Nugroho) diasumsikan sebagai Gajah Mada berdasarkan pendefinisian kata Geger yang berarti 'hiruk-pikuk'. Demikian juga definisi kata Mada yang berarti 'hiruk-pikuk'. Berdasarkan kesamaan arti kata Geger dan Mada inilah kemudian dia/beliau menyamakan Gajah Geger dengan Gajah Mada. Hal ini adalah merupakan suatu kesalahan besar sekali lagi saya katakan, SALAH BESAR.

Kata Mada dalam nama Gajah Mada pada dasarnya adalah melukiskan sebuah tempat kelahiran yang bersangkutan, artinya Gajah Mada adalah orang besar yang berasal dari desa Mada. Jadi bukan 'orang besar hiruk pikuk', demikian pula kiranya nama Gajah Geger hendaknya dianalogikan sebagai orang besar yang berasal dari daerah Geger

Kesimpulannya : Kata geger dalam nama Gajah Geger, tidak dapat diartikan sebagai Gajah Mada, sehingga memunculkan asumsi bahwa Gajah Mada ada dua orang. Ini merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa dan sangat terkesan mengada-ada yang dalam bahasa Jawanya, utak-atik-gathuk.

Penulis  : J.B. Tjondro Purnomo ,SH

Bersambung ...............

Sunday, June 5, 2011

PENYESATAN MAJAPAHIT VERSI BRAHMARAJA XI (1)

Sejarah Majapahit banyak disesatkan, sejarah Majapahit dibelak-belok demi kepentingan pribadi, akhirnya sejarah Majapahit membingungkan generasi muda.


"Yang Maha Mencipta, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Mengakhiri ... sujudku setunduk-tunduknya, semoga sirna segala rintangan."

Tertulislah sebuah artikel yang berjudul "Sejarah Ibu Majapahit Nusantara" yang termuat dalam  : Blog www.majapahit-masakini.co.cc atau tepatnya dalam artikel ini

http://www.majapahit-masakini.co.cc/2009/04/sejarah-ibu-majapahit-nusantara.html

Kutipan artikelnya

Dituliskan bahwa : Pada tahun Isaka 1203 (1281 M) dari negeri Cina datang dua orang putri Raja Ming / Miao Li (yang dikenal dengan Mauliwarma Dewa) keturunan Thong (Raja Miao Ciang) / Raja Li, Kerajaan Ming artinya Sinar / Surya,wilayah Cina waktu itu / Campa / Melayu (sekarang Malaya) Singapura atau Tumasek hingga laut Cina Selatan (Nan Hay). ................, kedua putri tersebut adalah “ Dara Jingga “ dan adiknya “ Dara Petak ” (Putih), kedatangan Putri Cina ini pada jaman Kerajaan Singhasari yaitu pada masa pemerintahan Sri Kerthanegara / Bathara Siwa tahun isaka 1190-1214 atau tahun (1268-1292 Masehi). Putri Dara Petak bergelar “ Maheswari ” diperistri oleh Sri Jayabaya atau Prabu Brawijaya I / Bhre Wijaya / Raden Wijaya , Raja Madjapahit pertama yang juga bergelar “ Sri Kertha Rajasa Jaya Wisnu Wardana ” pada tahun isaka 1216-1231 atau tahun (1294-1309 Masehi) yang selanjutnya menurunkan Prethi Santana / keturunan bernama “ Kala Gemet ” yang menjadi Raja Madjapahit kedua pada tahun 1309-1328 M, yang bergelar “ Jaya Negara ”. Sedangkan Putri Dara Jingga yang bergelar ‘’ Indreswari’’ atau Li Yu Lan atau Sri Tinuhanengpura (yang dituakan di Pura Singosari dan Madjapahit) diperistri oleh Sri Jayasabha yang bergelar “ Sri Wilatikta Brahmaraja I ” atau “ Hyang Wisesa “  

Dari petikan artikel tersebut dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, pertama : Dara Jingga dan Dara Petak adalah dua orang puteri Raja Ming / Miao Li (dikenal sebagai Mauliwarmadewa) keturunan Thong (Raja Miao Ciang). Hal ini adalah merupakan suatu kesalahan besar dan sangat terlihat dibuat-buat atau orang Jawa mengatakan kotak-katik-gathuk (menghubungkan sesuatu tanpa referensi yang jelas).

Baiklah kita tinjau tulisan Prof. Dr. Slametmulyana, dalam bukunya "Negarakertagama dan Tafsir sejarahnya", terbitan Bhratara Karya Aksara,  Jakarta, 1979, halaman124, paragraf kedua, sebagai berikut  

"Kidung Panji Wijayakrama mengisahkan bahwa sepuluh hari sesudah pengusiran tentara Tartar, Mahisa Anabrang, yang memimpin ekpedisi ke Melayu (Pamalayu, -penulis-) pada tahun 1275, pulang membawa dua orang puteri bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Tentang Dara Petak dikatakan sang anwam inapti artinya yang muda diperistri (oleh baginda). Tentang Dyah Dara Jingga dikatakan sira alaki dewa artinya ia kawin dengan orang yang bergelar (Mauliwarma) dewa".
Baginda dalam uraian diatas adalah Sanggramawijaya atau para ahli sejarah menulisnya dengan nama Raden Wijaya.

Pertanyaan yang muncul adalah : "Kapan terjadinya pengusiran tentara Tartar tersebut ?". Mari kita lihat uraian dalam buku yang sama pada halaman 118, paragraf kedua yang menjelaskan sebagai berikut  :

"......pada tanggal 19 April pengawal-pengawal itu mati terbunuh, bahkan tentara Majapahit di bawah pimpinan Raden Wijaya mendadak menyerang tentara Tartar lainnya yang sedang berkubu di Daha dan Canggu mabuk-mabuk mengadakan pesta kemenangan. Tentara Tartar mundur ke laut dalam kejaran orang Majapahit dan berlayar kembali pada tanggal 24 April 1293, kehilangan tiga ribu prajurit."

Dari uraian kedua penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Dara Jingga dan Dara Petak ke Majapahit tersebut terjadi pada sekitar bulan Mei 1293 M, dan bukan pada tahun 1281 M sebagai yang ditulis dalam artikel 'Sejarah Ibu Majapahit Nusantara' (www.majapahit-masakini.co.cc) tersebut.

Lebih parah lagi disebutkan bahwa : Putri Dara Jingga yang bergelar ‘’ Indreswari’’ atau Li Yu Lan atau Sri Tinuhanengpura (yang dituakan di Pura Singosari dan Madjapahit) diperistri oleh Sri Jayasabha yang bergelar “ Sri Wilatikta Brahmaraja I ” atau “ Hyang Wisesa “
Tentang Dyah Dara Jingga dikatakan sebagai sira alaki dewa yang artinya kawin dengan seorang yang bergelar Mauliwarmadewa, dengan demikian Mauliwarmadewa adalah suami Dyah Dara Jingga, dan BUKAN ayah dari Dara Jingga dan Dara Petak sebagai yang diuraikan dalam artikel tersebut (Sejarah Ibu Majapahit Nusantara). Selanjutnya suami Dara Jingga adalah Mauliwarmadewa dan bukan Sri Wilatikta Brahmaraja I atau yang disebut Sri Jayasabha/Hyang Wisesa.


Selanjutnya dituliskan "Putri Dara Petak bergelar “ Maheswari ” diperistri oleh Sri Jayabaya atau Prabu Brawijaya I / Bhre Wijaya / Raden Wijaya , Raja Madjapahit pertama yang juga bergelar “ Sri Kertha Rajasa Jaya Wisnu Wardana . Salah kaprah, sekali lagi saya katakan salah kaprah ...., begini, Sri Jayabaya dan Bhre Wijaya (Sanggramawijaya, pendiri sekaligus raja pertama Majapahit) berasal dari kurun waktu yang berbeda, hal mana Sri Jayabaya (Sri Aji Jayabaya) berasal dari kerajaan Kadhiri (yang dikalahkan oleh Ken Arok dari Singosari) sedangkan Sanggramawijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit (yang nota bene merupakan kelanjutan dari kerajaan Singosari). Lebih penting lagi Sanggramawijaya tidak bergelar Prabu Brawijaya I melainkan bergelar Kertarajasa Jayawardhana.

Saya tidak tahu dan sama sekali serta tidak mengerti referensi apa yang dipakai untuk menuliskan tulisan tersebut. Terlihat jelas ke-ngawuran Brahmaraja XI dalam hal ini. Dia mengaku sebagai raja Majapahit-Bali, tetapi sama sekali tidak mengerti jalannya sejarah kerajaan Majapahit. Bagaimana mungkin seorang raja tidak tahu sejarah kerajaannya sendiri ?. Suatu hal yang menggelikan bukan ? Lucu sekali  !!!!

Dalam referensi sejarah Majapahit tidak ada istilah Sri Tinuhanengpura yang ada adalah Stri Tinuheng Pura (lihat Kidung Panji Wijayakrama pupuh VII/147-150, lihat juga Pararaton hal. 10 baris 27-36) yang artinya isteri yang dipertua di istana. Maksud  istilah "dipertua di istana" tidak berarti lantas dia menjadi ibu Majapahit, terbukti kakawin Negarakertagama (yang telah diakui sebagai memori dunia) tidak pernah menyebutkan Dara Petak ini sebagai parameswari dan hanya menyebutnya sebagai Indreswari atau dapat dikatakan sebagai selir. Dengan demikian sebutan Dara Petak adalah Indreswari dan bukan Maheswari (lihat kakawin Negarakertagama pupuh XLVII/2).

Selanjutnya di dalam referensi sejarah kerajaan Majapahit tidak pernah ada raja yang bergelar Sri Wilatikta Brahmaraja .... Dan bila dianalogikan sebagai suami Dara Petak, maka beliau adalah Sri Narapati Kretarajasa Jayawardhana (nama gelaran) sebagai yang diuraikan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XLV sampai dengan pupuh XLVII. Nama aslinya adalah Nararya Sanggramawijaya atau yang biasa disebut Raden Wijaya. Lebih jauh lagi di dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh beliaupun tidak pernah menyebut gelaran Sri Wilatikta Brahmaraja ....

Kesimpulannya : apa yang dibuat atau ditulis dalam artikel "Sejarah Ibu Majapahit Nusantara" (www.majapahit-masakini.co.cc) dapat dikategorikan sebagai suatu kebohongan-sejarah.

Penulis : J.B. Tjondro Purnomo ,SH.

Bersambung ...................ke bagian kedua

Monday, May 30, 2011

BRAHMARAJA XI, BUKAN RAJA MAJAPAHIT


Berita dari artikel tersebut di atas, silahkan baca di sini

Adalah seorang Trowulan yang saat ini bermukim di Bali dan mengaku diri sebagai Raja Majapahit-Bali dengan mengambil gelar abhiseka HYANG BATHARA AGUNG SRI WILATIKTA BRAHMARAJA XI. Hal ini cukup menggelikan dan hanyalah orang-orang yang tidak memiliki wawasan Majapahit yang percaya akan hal ini.


Baiklah kita tinjau letak kejanggalan-kejanggalan yang sengaja dimunculkan

Pada sumber-sumber sejarah Majapahit tidak pernah dikenal istilah WILATIKTA, baik prasasti-prasasti yang ada maupun kakawin Negarakertagama hanya mengenal istilah WILWATIKTA atau TIKTAWILWA, wilwa berarti buah maja dan tikta berarti pahit, jadi WILWATIKTA berarti Majapahit. Sekali lagi yang ada adalah Wilwatikta dan bukan Wilatikta.

Kakawin Negarakertagama yang berjudul asli Desawarnana di dalam pupuh LXXXIII bait yang ke 3, menyebutkan hal yang demikian :

"Mashurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya, Hyang Brahmana, sopan, suci, ahli weda, menjalankan nam laku utama ...."

Dari uraian pupuh ini jelaslah bahwa Brahmaraja adalah seorang pendeta, brahmana yang menguasai kitab Weda, jadi bukan raja.

Selanjutnya dikatakan sebagai berikut, Brahmaraja XI, adalah raja Majapahit-Bali, hal ini lucu sekali dan sangat menggelikan. Sepanjang sejarah kerajaan Majapahit, kerajaan ini (Majapahit) tidak pernah berdiri di Pulau Bali, bahkan Bali adalah wilayah tundukkan Majapahit, jadi Bali berstatus sebagai kerajaan bawahan Majapahit.

TIGA PILAR UTAMA

" Majapahit banyak diragukan, Majapahit menyimpan berjuta misteri, Majapahit masih menyimpan kekuatan besar ".

Tersebutlah Sri Kertarajasa Jayawardhana yang memiliki senjata utama yang berupa tombak berujung mata tiga (trisula) sebagaimana yang disebutkan di dalam prasasti Sukam'reta berangka tahun 1305. Dengan mempergunakan senjata tersebut beliau dapat menghancurkan musuh-musuh utama Singasari serta mampu mengusir tentara Tartar dari tanah Jawa. Sebenarnya disamping perwujudan senjata trisula itu sendiri, maka trisula dapatlah diartikan sebagai suatu "penggabungan tiga pilar utama" menjadi satu kekuatan utuh, yang bilamana ketiganya bergabung akan menghasilkan suatu kekuatan yang luar biasa. Adapun "tiga pilar" tersebut dapat diidentifikasikan sebagai "kemampuan supranatural" yang dimiliki oleh masing-masing orang atau pribadi.

Alkisah pada hari Jum'at malam sekira pukul 24.00 WIB, kami berempat melakukan ritual khusus dengan mengambil lokasi di Candi Kedaton dan Candi Sumur Upas, Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto. Kami mencoba untuk mempraktekkan "kemampuan supranatural" masing-masing pribadi. Alhasil, apa yang kami lakukan-pun tertangkap kamera digital CANON Ixus 130 yang memiliki kekuatan 14 mega pixel. Hasil dari dokumentasi tersebut adalah seperti di bawah ini  :

Munculnya tiga aura ghaib di sekitar Candi Sumur Upas

 Pendeteksian tiga aura utama

Pembesaran masing-masing aura-ghaib tersebut

Aura pertama

Aura kedua

Aura ketiga

 Pewaris ke-tiga aura ghaib di atas dalam lindungan "leluhur Majapahit"

Berikut ini akan ditampilkan kemampuan masing-masing pewaris "tiga aura-ghaib" tersebut di atas 

Mengusir roh-roh jahat dengan kekuatan Ilahi

 Menyeberangkan roh-roh menuju tempat yang semestinya

 Mengangkat dan memberangkatkan "pusaka-pusaka" menuju tempat yang aman

Pusaka-pusaka yang berhasil di berangkatkan

Harapan penulis adalah : semua yang terpampang dalam artikel atau tulisan ini janganlah dipandang sebagai suatu kesombongan pribadi atau kelompok, tulisan ini hanyalah ingin menyampaikan fakta-fakta dan kebenaran perjalanan ritual kami serta keinginan kami untuk berbagi pengalaman ghaib di situs-situs peninggalan kerajaan Majapahit yang memang masih menyimpan berjuta-juta rahasia ghaib.
 
Sekian perjalanan ritual khusus kami, rahayu, rahayu, rahayu ..., sagung dumadi.

 

Sunday, May 29, 2011

AWARD MAJAPAHIT BAHANA NUSANTARA

Majapahit kadang disanjung, Majapahit kadang dihujat, Majapahit bahan perdebatan, Majapahit dicaci-maki dan Majapahit dirindukan kemunculannya.

Yah ...., inilah kondisi masyarakat kita sekarang ini, mengagungkan pola pikir pragmatis tanpa pernah berpikir siapa yang pertama-tama memunculkan konsep persatuan Nusantara yang pada akhirnya dapat mempersatukan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini (yang notabene terpisahkan oleh banyak lautan, berbagai budaya dan bahasa daerah). Pola pikir mengagung-agungkan budaya import telah mulai merambah setiap segi kehidupan bangsa ini, generasi muda lebih banyak disuguhi budaya-budaya manca-negara sehingga lambat laun akan melupakan budaya asli bangsa ini. Dan inilah bibit-bibit kehancuran bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara dan dasar persatuan bangsa sepertinya hanya tinggal hiasan buah perjuangan pendahulu-pendahulu bangsa ini. Ironinya, banyak diantara anak negeri ini yang sama sekali telah melupakan Pancasila sebagai dasar bernegara dan bermasyarakat. Kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan menjadi hal yang utama.
 
Demikianlah sekelumit prakata yang diulas dalam Blog Majapahit 1478 sebagai penghantar penganugerahan award Majapahit Bahana Nusantara ini. Selanjutnya blog Majapahit Info ini mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas anugerah award yang pertama ini. Semoga award ini dapat memacu segenap crew blog Majapahit Info ini untuk mencari hal-hal baru yang berkaitan dengan Kerajaan Majapahit, baik yang berupa peninggalan-peninggalan, pengalaman-pengalaman spiritual atau hal-hal lain yang terkait.
 
Crew Majapahit Info
 
 

Wednesday, May 25, 2011

PENYESATAN MAJAPAHIT VERSI BRAHMARAJA XI (2)


Baiklah kita ulas penyesatan-penyesatan berikutnya   :

Petikan artikel Sejarah Ibu Majapahit Nusantara

Bagian lain artikel yang sama menyebutkan hal berikut  :

"Demikian juga Sri Kerta Wardana / Sri Cakradara yang anak Putri Yulan mengawini Tri Buana Tunggadewi, Ratu Majapahit ketiga menurunkan putra Hayam Wuruk yang menjadi Raja terbesar di Majapahit yang selanjutnya menurunkan Raja-Raja Majapahit dijawa hingga berakhir. Jadi sejak Raja Hayam Wuruk Raja-Raja Majapahit selanjutnya adalah keturunan Putri Yu Lan (Garis Pradana) terbukti pengganti Hayam Wuruk yaitu Wikrama Wardana memakai nama Hyang Wisesa juga suami Dewi Suhita memakai nama leluhurnya yang dipuja di Besakih-Bali Hyang Wisesa yang beristrikan Ratu Mas / Indreswari dan sejak itu para Raja di candikan di ”Parama Wisesa pura”/ Hyang Wisesa pura. "




Sekali lagi saya bingung dan merasa seperti orang bodoh ketika membaca petikan artikel tersebut di atas. Dari mana ceritanya Sri Kerta Wardana / Sri Cakradara adalah anak Putri Yulan ? Sumber apa yang dipakai untuk menuliskan hal ini ? Jawabannya adalah : Sumber orang ngawur yang mencoba menuliskan sesuatu tentang sejarah Majapahit !!!! Akibatnya akan timbul 'pengawuran' dalam menulis sejarah Majapahit.

Mari kita perhatikan Prasasti Trawulan I (Canggu) yang berangka tahun 1280 Saka (07 Juli 1358 M), yang menuliskan bahwa Kretawarddhana adalah keturunan raja Wisnuwarddhana (Rangga Wuni) dari Singasari (lihat prasasti Trawulan I lempeng I -verso, di dalam OV, 1918, hal. 108). Penjelasan ini didukung oleh Marwati Joened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, dalam "Sejarah Nasional Indonesia II", Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hal. 433 (bagian bawah). 

Dengan demikian jelaslah kepada kita bahwa Kretawarddhana (Kertawardana) suami Tribhuwanottunggadewi adalah keturunan raja Wisnuwarddhana dari kerajaan Singosari dan bukan anak Putri Yulan. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa secara geneologis Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) adalah merupakan trah Singosari karena ayahnya adalah keturunan raja Wisnuwarddhana (raja Singosari) yang saat pemerintahan Tribhuwanottunggadewi telah menjadi penguasa daerah (raja bawahan) di Singosari atau yang disebut dengan Bhre Singosari.

Baiklah kita ulas sedikit perihal siapakah Wisnuwarddhana tersebut .............. ?

Kitab Pararaton menjelaskan persekutuan antara Rangga Wuni (putera Anusapati, yang adalah putera sulung Ken Arok dari perkawinannya dengan Ken Umang, yang dibunuh oleh Panji Tohjaya dengan menggunakan keris Gandring) dan Mahisa Campaka (putera Mahisa Wong Ateleng) sebagai "dua ular dalam satu liang". Dalam persembunyian (akibat kejaran Panji Tohjaya) mereka tetap bersatu ;  dalam pemerintahan sepeninggal Panji Tohjaya mereka juga tetap seia sekata. Rangga Wuni dinobatkan sebagai raja dan mengambil nama abhiseka Wisnuwardhana sedangkan Mahisa Campaka  menjadi ratu angabhaya (pembantu utama sang prabhu) bergelar Bhatara Narasinghamurti. Narasinghamurti tercatat dalam prasasti Penampihan (1269) lempengan [1b] ; prasasti Kudadu (1294) lempengan [1]. Nama Wisnuwardhana tercatat untuk pertama kalinya dalam prasasti Wurare (1289), candi makamnya terletak di Tumpang dan akan dibahas dalam artikel tersendiri. Dalam prasasti Kudadu dinyatakan bahwa Sanggramawijaya (putera Dyah Lembu Tal) adalah keturunan Narasinghamurti (Mahisa Campaka anak Mahisa Wong Ateleng). Kakawin Negarakertagama dalam pupuh XLI/2 mengiaskan pemerintahan bersama antara Wisnuwarddhana dan Narasinghamurti sebagai kerjasama antara Madhawa (Wisnu) dan Indra.

Kesimpulan akhirnya adalah : Kretawaddhana (ayah Hayam Wuruk) adalah keturunan dari raja Wisnuwardhana (nama aslinya adalah Rangga Wuni) dari Singosari dan bukan anak putri Yulan. Dengan demikian Prabu Hayam Wuruk, secara geneologis, dapat juga dikatakan keturunan Singosari, karena baik ayah maupun ibunya sama-sama berasal dari Singosari, dan bukan keturunan Cina melainkan asli tanah Jawa.

Penulis : J.B. Tjondro Purnomo ,SH

Bersambung .............................

Monday, May 16, 2011

MANA YANG ASLI ?

Majapahit menyimpan banyak misteri, Majapahit mengundang decak kagum, Majapahit mengundang perdebatan, Majapahit menyisakan tanda tanya besar.
Ada beberapa mahkota yang disebut-sebut sebagai peninggalan kerajaan Majapahit, salah satunya adalah yang dipegang dan dimiliki oleh Brahmaraja XI yang telah menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit-Bali.

 Foto Mahkota yang dipegang oleh Brahmaraja XI

Coba kita perhatikan dengan seksama, mahkota tersebut hanya bermotifkan bunga-bunga kontemporer dan sama sekali tidak mencirikan motif atau ragam hias Majapahit, atau paling tidak menunjukkan kepada kita bahwa mahkota tersebut memang patut kita anggap berasal dari Majapahit.

Coba kita bandingkan dengan foto beberapa mahkota di bawah ini  :





Pertanyaan yang muncul : " Manakah mahkota yang asli Majapahit ?".

Sunday, May 15, 2011

MAJAPAHIT BUKAN KESULTANAN ISLAM (2)

Fakta ke dua yang diungkap oleh Herman Sinung Janutama adalah sebagai berikut :

2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.
 

Tulisan yang sebenarnya pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim tersebut adalah sebagai berikut :

Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah 21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ”Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.”

Pada nisan makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Syeikh Maghribi atau Sunan Gresik, terdapat inskripsi yaitu surat al-Baqarah ayat 225 (ayat Kursi), surat Ali Imran ayat 185, surat al-Rahman ayat 26-27, dan surat al-Taubah ayat 21-22 serta tulisan dalam bahasa Arab yang artinya:

Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Menteri, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya (dalam terjemahan lain disebut: terkenal dengan Kakek Bantal-red). Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.

Dari kedua uraian tersebut di atas menunjukkan kepada kita bahwa tidak pernah tertulis dalam batu nisan tersebut suatu pernyataan yang menyatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah Qadhi (hakim agama) di kerajaan Majapahit.

Lebih jauh lagi, Slamet Mulyana dalam bukunya Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya, Bhratara Karya Aksara, 1979 pada halaman 189 menyebutkan :

"Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama raja yang disebut Sang Amawabhumi, artinya : orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam mukadimah Kutara Manawa ditegaskan demikian : Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam mentrapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap, jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya".

Dalam hal ini jelas kepada kita, bahwa hakim agama (Qadhi) pada masa kerajaan Majapahit disebut dengan istilah Sang Amawabhumi yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raja Majapahit yang berkuasa pada saat itu. Hal ini sesuai dengan kitab perundang-undang yang berlaku pada masa itu yang terkenal dengan Kitab Kutaramanawa.

Di dalam paragraf berikutnya Slamet Mulyana menjelaskan hal yang berikut ini :

"Dalam soal pengadilan, raja dibantu oleh dua orang dharmadhyaksa, seorang dharmadhyaksa kasaiwan, seorang dharmadhyaksa kasogatan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Budha, dengan sebutan DANG ACARYA, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam kerajaan Majapahit dan segala perundang-undangan didasarkan agama. Kedudukan dharmadhyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi, mereka itu dibantu oleh lima upapatti artinya pembantu; dalam pengadilan adalah pembantu dharmadhyaksa. Mereka itu dalam piagam biasa disebut pamegat atau sang pamegat (disingkat samgat) artinya : sang pemutus alias hakim ..."

Dengan demikian jelaslah bagi kita semua bahwa pada masa kerajaan Majapahit hakim-tinggi atau bisa dikatakan sebagai hakim-agama hanya ada dua yang disebut dengan Dharmadhyaksa Kasaiwan (untuk golongan Siwa) dan Dharmadhyaksa Kasogatan (untuk golongan Budha). Kenyataan ini bukanlah suatu rekayasa sejarah, melainkan ditunjang dengan berbagai prasasti (piagam) yang ditemukan dan berasal dari masa kerajaan Majapahit diantaranya Piagam Kudadu (1294), Piagam Sidateka (1323), Piagam Trawulan (1358) serta piagam-piagam lainnya yang isinya menyebutkan nama hakim-hakim agama tersebut.

Selanjutnya, hakim agama pada masa kerajaan Majapahit diberikan suatu gelar yaitu DANG ACARYA dan bukan gelar Sunan.

Berikut ini adalah daftar hakim-agama pada masa kerajaan Majapahit dari tahun 1293 sampai dengan tahun 1365.


Dengan demikian dalam masa kerajaan Majapahit tidak ada atau belum dikenal istilah Qadhi (hakim agama).

Selanjutnya dipersilahkan untuk membaca bagian ketiga

Saturday, May 14, 2011

MAJAPAHIT BUKAN KESULTANAN ISLAM (3)

Fakta ketiga yang dipergunakan oleh Herman Sinung Janutama untuk memperkuat argumennya adalah  :

3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan  sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini. Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam.

 Gambar Pertama

Pada gambar pertama, seolah-olah huruf arab tersebut merupakan huruf yang benar-benar tercetak pada artefak Surya Majapahit. Menurut saya, huruf Arab yang diberi penekanan pada gambar tersebut tidak lebih merupakan persepsi yang dipaksakan oleh pihak yang menganggap Majapahit merupakan kerajaan Islam. Hal ini tidak dapat diterima begitu saja sebagai bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan Islam.
Sumber sangkalan adalah  tulisan Adang Setiawan

Coba kita bandingkan dengan gambar atau foto Surya Majapahit yang asli berikut ini  :

Gambar kedua

Gambar ketiga

Dengan mata telanjang, dapatlah kita perbandingkan mana lambang yang asli dan mana lambang yang palsu alias buatan pihak-pihak yang berusaha mengaburkan sejarah kerajaan Majapahit. Faktanya lambang kerajaan Majapahit atau yang terkenal dengan sebutan Surya Majapahit ini adalah pengejawantahan sembilan Dewa yang menguasai delapan penjuru mata angin dengan Dewa Siwa di bagian tengahnya. Adapun penjelasan ke delapan Dewa tersebut adalah sebagai berikut :
Dewa Kuwera bertahta di Utara, Isana di Timur Laut. Indra di Timur, Agni di Tenggara, dan Kama/Yama di Selatan. Dewa Surya /Nrtti berkedudukan di Barat Daya, Varuna di Barat, Bayu /Vayu atau Nayu di Barat Laut, dan Siwa di Tengah.

Kepercayaan ini masih terpelihara dengan baik di bumi Bali dengan adanya kepercayaan terhadap dewa-dewa besar dan terkenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga.


Gambar keempat

Lambang kerajaan Majapahit tersebut di atas menunjukkan kepada kita adanya Siwa-Centris yang berkembang pada masa itu, hal ini ditunjang dengan fakta-fakta diketemukannya beberapa Lingga-Yoni yang merupakan lambang Dewa Siwa, seperti gambar di bawah ini.

Gambar kelima

Hal lain yang menunjang adanya Siwa-Centris adalah berupa arca-arca pendewaan raja-raja Majapahit yang mayoritas beroritentasi kepada Siwa, semacam arca Harihara yang merupakan perwujudan raja pertama Majapahit yaitu Bhre Wijaya. Arca ini merupakan sinkretisme antara Siwa dan Budha, perhatikan gambar di bawah ini.

  Gambar keenam

Contoh berikutnya adalah arca Parwati (sakti dewa Siwa) yang merupakan arca perwujudan raja ketiga Majapahit yaitu  Tribhuwanottunggadewi, perhatikan gambar di bawah ini.

 Gambar ketujuh

Selanjutnya dipersilahkan untuk membaca  bagian keempat

Wednesday, May 11, 2011

KARYA SASTRA JAMAN MAJAPAHIT

Tidak banyak kita jumpai karya sastra pada jaman kerajaan Majapahit ini, selain kakawin Negarakertagama gubahan Mpu Prapanca,  masih terdapat beberapa kakawin lainnya gubahan Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, yaitu Arjuna Wijaya dan Sutasoma, Puruda Santa (Mpu Tantular) serta Wretta Sancaya dan Siwaratrikalpa atau Lubdhaka (Mpu Tanakung), yang digubah pada masa kejayaan Majapahit.
 
Kakawin Arjuna Wijaya menguraikan peperangan antara Prabhu Arjuna Sahasrabhahu dan pendeta Parasu Rama, berdasarkan Uttara Kanda, bagian terakhir Ramayana (Sansekerta). Cerita ini sangat populer terbukti dari adanya pelbagai naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuna. Versinya dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk tembang diusahakan oleh Raden Ngabehi Sindusastra dari Surakarta, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1930.  Cerita ini dikenal dengan Lampahan Arjuna Sasrabahu, banyak dipertunjukkan dalam seni panggung wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang. Naskah ini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dibahas dan diterbitkan sebagai bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia oleh Dr. Supomo pada tahun 1971.

Karya Mpu Tantular yang kedua adalah Sutasoma, Purusada Santa, sebuah cerita moralistik dan didaktik Budha tentang pahlawan Sutasoma yang menyerahkan hidupnya dengan sukarela sebagai mangsa kepada raksasa Kalmasa Pada. Raksasa Kalmasa Pada kagun akan kerelaan itu, dan tidak jadi memakannya, bahkan malah bertobat dan memeluk agama Budha. Sutasoma adalah Bodhisattwa. Naskah Sutasoma Purusada Santa ini banyak menarik perhatian para sarjana, diantaranya Prof. J. Ensink, dalam tahun enampuluhan ia datang ke Indonesia untuk mengadakan penelitian tentang Sutasoma di pulau Bali, hasilnya adalah sebuah tulisan yang berjudul On the Old Javanese Cantakaparwa and its tale of Sutasoma, VKI, 54, 1967. Teks Sutasoma ini juga dijadikan bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia, oleh Dr. Suwito Santosa pada tahun 1969.

Wretta Sancaya atau disebut juga Cakrawala Duta pada hakekatnya adalah karya pengetahuan tentang matra kakawin India, yang banyak dipinjam dalam kesusasteraan Jawa Kuna, tetapi diberi bentuk cerita romantis tentang seorang gadis yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Gadis itu memeinta bantuan kepada burung cakrawala atau meliwis untuk mencarikan kekasihnya tersebut. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh Prof. H. Kern dengan judul Wretta-sancaya, Oud Javaansch leerdicht over versbouw, Leiden, 1875.

Sriwaratrikalpa atau Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang pada suatu malam menaburkan daun maja (wilwa) di atas lingga Dewa Siwa, yang ada di bawah pohon maja. Sebagai tanda terima kasih, Dewa Siwa mengijinkan pemburu itu masuk ke dalam taman surga. Cerita Lubdhaka adalah saduran dari mithologi India yang bertalian dengan upacara keagamaan Shiwaratri. Mungkin pada jaman Majapahit Shiwaratri itu juga dirayakan. Naskah ini telah diterbitkan oleh Prof. A. Teeuw di bawah judul Sriwaratrikalpa dalam seri Bibliotheca Indonesica no. 3 tahun 1969. Karya lainnya dari Mpu Tanakung adalah Pati Brata atau Uddalaka, karya ini belum pernah diterbitkan.

TEMUAN-TEMUAN MAJAPAHIT TERBARU

Berikut ini akan diuraikan beberapa temuan peninggalan kerajaan Majapahit terbaru yang diketemukan periode tahun 2010 s/d April 2011, setidaknya ada empat penemuan yang cukup berarti, yaitu :

Temuan candi baru di wilayah Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, untuk beritanya silahkan anda baca di sini


Temuan berikutnya adalah berupa Prasasti jaman Majapahit yang diketemukan di daerah Blitar, Jawa Timur, beritanya silahkan baca di sini


Temuan kolam pemandian raja-raja Majapahit, di daerah Nglinguk,  Desa/Kecamatan Trowulan, Mojokerto, beritanya silahkan baca di sini atau disini


Temuan prasasti Butulan, yang diketemukan di daerah Gresik, Jawa Timur, tepatnya di dinding goa butulan Desa Gosari, Ujung Pangkah, beritanya silahkan baca di sini


IKON KOTA RAJA MAJAPAHIT

Sebelum manusia lahir di muka bumi, alam semesta didiami oleh dewa-dewa yang tinggal di atas kahyangan, sedangkan daitya-daitya tinggal di bawah mewakili keburukan. Para dewa dan daitya selalu saja bertengkar.

Pada suatu ketika, para dewa mencari air kehidupan atau amerta. Sayangnya air kehidupan itu tersembunyi di dasar laut dan dijaga oleh sejumlah naga. Dewa Brahma memanggil para dewa di puncak Gunung Mahameru untuk ditugaskan mengaduk laut supaya dari pusatnya keluarlah amerta. Para daitya pun dilibatkan dalam proyek tersebut.

Konon, sebagai alat pengaduknya adalah Gunung Mandara yang diangkut para dewa ke tepi laut. Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura yang sangat besar untuk alas Gunung Mandara, sedangkan Dewa Wasuki menjelma menjadi ular besar untuk membelit gunung itu. Kepala ular ditarik para daitya, sedangkan ekornya ditarik para dewa, maka berputarlah Gunung Mandara mengaduk air laut.
Singkat cerita, keluarlah Dewa Dhanwantari, tabib kahyangan dari dalam laut. Di tangannya ia membawa guci yang berisi amerta, air dambaan para dewa.
Inilah ringkasan kisah Amertamanthana yang dipetik dari Kitab Mahabharata dari India. Amertamanthana menceritakan terjadinya dunia ini melalui pengadukan laut susu untuk mendapatkan amerta, air kehidupan. 

Ikon kota raja Majapahit
Naga atau ular besar merupakan ikon yang sangat penting untuk menggambarkan mitologi alam semesta. Pada masa Jawa Kuno, pahatan naga sering terpahat pada tubuh yoni, miniatur bangunan candi, relief candi, dan pada bangunan candi itu sendiri. Naga yang dipahatkan itu tidak melulu tentang Amertamanthana, melainkan juga ada yang berkaitan dengan masalah kesuburan dan kepercayaan lainnya.

Naga sebagai ikon kota kuno dapat dilihat pada situs kota Angkor di Kamboja. Tata letak kota itu benar-benar replika penciptaan dunia dengan cara pengadukan laut susu. Sebelum memasuki kota Angkor terdapat tanggul Angkor Thom. Di kanan kiri jalan-tanggul terdapat 54 raksasa yang memegang seekor naga dan posisi mereka membelakangi kota. Ketika masuk kota, yang di sebelah kiri adalah dewa-dewa kahyangan, dan di sebelah kanan dewa-dewa dunia-dunia bawah tanah. Di tengah kota terdapat Candi Bayon sebagai gunung suci dengan pintu-pintu simetris yang berlawanan arah, timur-barat dan utara-selatan. Dewa kahyangan dari pintu selatan tampak menarik naga yang melingkar-lingkar secara simbolis di sekeliling Candi (Gunung) Bayon, untuk ditangkap pada bagian ujungnya oleh dewa-dewa neraka dari dunia-dunia bawah tanah yang terdapat di pintu utara. Demikian pula halnya antara pintu barat dan timur. Dewa-dewa itu menarik secara bergantian, membuat Candi Bayon seperti berputar pada porosnya, simbol kegiatan mengaduk lautan kosmik, yang digambarkan dalam bentuk parit-parit air.

Tuesday, May 10, 2011

KEKERAMATAN SITUS PENINGGALAN MAJAPAHIT (1)

Majapahit dengan sisa-sisa peninggalannya ternyata masih menyimpan kekuatan-kekuatan gaib, Majapahit dengan peninggalan yang tertua berupa Candi Brahu yang terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto menyimpan sejuta misteri gaib. Candi Brahu dibangun dari batu bata merah, dibangun di atas sebidang tanah menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan memiliki ketinggian 20 meter. Disekitar candi ini pernah ditemukan prasasti Alasantan yang berasal dari jaman Mpu Sindok, tepatnya pada tahun 861 Saka atau 939 M. Saat penggalian dilakukan di sekitar candi, banyak ditemukan benda benda kuno macam alat alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari emas, arca dan lain-lainnya. Mengutip buku Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah Trowulan oleh Drs IG Bagus Arnawa, dulu di sekitar candi ini banyak terdapat candi candi kecil yang sebagian sudah runtuh, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong.

Kakawin Negarakertagama menyebut Candi Brahu ini dengan sebutan "tempat Budha bersusun tiga ...", oleh karenanya candi ini lebih tepat sebagai tempat persembahyangan umat Budha di jaman Majapahit. Berikut ini adalah gambar-gambar perjalanan spiritual kami pada hari Kamis malam tanggal 12 Mei 2011 sekitar tengah malam.
Di bagian atas nampak kedatangan pusaka keris berikut penjaganya


Bagian dalam Candi Brahu
Duduk di pintu masuk Candi Brahu
Bagian atas Candi dilihat dari dalam
Pusaka keris dan penuggunya di pintu masuk candi

Demikianlah sedikit kisah perjalanan spiritual kami ke candi Brahu.

Gambar Belangkas