Sunday, May 1, 2011

Haghi ni Genap 6 tahon....

Haghi (hari) ni 2 Mei 2011.....
6 tahon yang lepaih (lepas).....
tarikh ni membawak kedukaan pade awok sekeluarge.....
haghi (hari) ni le haghi (hari) nye dimane Ayahande awok yang terchenta.....
Azimi bin Abdul Aziz telah kembali ke Rahmatullah buat selame2 nye......

pergi yang takkan kembali.......
dan pemergian ayahande awok dengan caghe (cara) mengejot ni buatkan ghamei (ramai) yang terkejot....
sehaghi (sehari) sebelom 'kembali' elok je Ayah awok bergebang & berlabon dengan kengkawan die....
tapi udah janji nye macam tu.....
bukan bulih dilewatkan walo (walau) sesaat pun....

dan semalam awok dan adik beghadik (beradik) awok telah anjorkan kendughi (kenduri) tahlil ...
kheh (khas) untok Ayahande kami yang terchenta Allahyarham Haji Azimi bin Abdul Aziz.....
yang awok syahdu semalam bukan ape.....
ghamei (ramai) kengkawan Arwah tughot (turut) same hadir semalam......
nyembang (bersembang) dengan deme, macam2 le ceghite (cerita) yang keluo.....

Ceghite kebaikan Arwah yang tak peghenah (pernah) pun awok tau sebelom ni.....
jenoh le awok menahan ayo mate (air mata)....
tak nak tunjok sangat le pade deme......
tapi awok tewaih (tewas) jugak.....
bile deme pulak yang mule beremosi.....

takpele......
awok ikot kate oghang (orang) walopon ayah kite udah takde....
berkawan le dengan kawan2 arwah....
seolah2 deme masih lagi bersame2 dengan arwah.....
Insyallah awok akan ke kubor haghi (hari) ni....

Damai lah Allahyarham Haji Azimi Abdul Aziz di'sane'......

DAFTAR ISI - SITEMAP BLOG





SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA

Sri Kertarajasa Jayawarddhana adalah nama gelar Nararya Sanggramawijaya (Wijaya) yang telah berhasil mendirikan kerajaan Majapahit sekaligus menjadi raja Majapahit yang pertama, memerintah dari tahun 1293 - 1309 M. Beliau adalah keturunan kerajaan Singhasari, putera Dyah Lembu Tal, cucu Narasinghamurti sekaligus menjadi menantu raja Kertanegara.

Beliau memiliki empat permaisuri, yaitu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita dan  Sri Rajendradewi Dyah Gayatri. Dengan parameswari Tribhuwaneswari beliau memperoleh seorang anak (angkat) laki-laki bernama Jayanagara (keterangan ini terdapat di dalam prasasti Sukamrta dan prasasti Balawi), dan sebagai putera mahkota ia mendapat Kadiri (Daha) sebagai daerah lungguhnya. Kitab Negarakertagama dalam pupuh XLVII/2 menjelaskan ' ....tersebut tahun saka tujuh orang dan surya (1217), baginda (Wijaya) menobatkan putranya di Kediri, perwira, bijak, pandai, putera Indreswari, bergelar Sang raja putera Jayanagara ...'. Indreswari ini lebih layak dianalogikan dengan Tribhuwaneswari, sang permaisuri yang pertama.
Kitab Pararaton di dalam bagian yang ke VII dan VIII menyebutkan lain, yaitu Jayanegara adalah nama gelaran, sedang nama kecilnya adalah Kalagemet anak Wijaya dengan Dara Pethak (seorang puteri Melayu) hasil dari ekspedisi Pamalayu.

Read more: baca di sini
 

SRI RAJASANAGARA (2)

Dari uraian Kitab Pararaton kita mengetahui bahwa setelah peristiwa Bubat berakhir, Gajah Mada mukti palapa, mengundurkan diri dari jabatannya, namun beberapa saat kemudian ia aktif kembali dalam pemerintahan, tetapi tidak terdapat keterangan lebih lanjut perihal pelaksanaan program politik-Nusantaranya. Di dalam kakawin Negarakertagama disebutkan bahwa raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) pernah menganugerahkan semuab sima kepada Gajah Mada yang kemudian diberi nama darmma kasogatan Madakaripura, di tempat inilah agaknya Gajah Mada menetap selama ia mukti palapa.

Berhubung dengan meninggalnya puteri Sunda (Dyah Pitaloka) dalam peristiwa di Bubat, maka kemudian raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori anak dari Bhre Wengker Wijayarajasa dari perkawinannya dengan Bhre Daha Rajadewi Maharajasa (bibi Hayam Wuruk).

Masa pemerintahan Hayam Wuruk nampak sekali usaha-usaha untuk meningkatkan kemakmuran bagi rakyat, berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dan kebudayaan sangatlah diperhatikan. Hasil pemungutan berbagai macam pajak dan upeti dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi seluruh kerajaan dalam berbagai bidang. Kakawin Negarakertagama dan beberapa buah prasasti yang berasal dari pemerintahan raja Hayam Wuruk memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan di bidang pertanian, raja telah memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran pengairan, serta pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Di beberapa tempat sepanjang sungai-sungai besar diadakan tempat-tempat penyeberangan yang sangat memudahkan lalu-lintas antar daerah.

Raja Hayam Wuruk sangatlah memperhatikan kondisi daerah-daerah dalam wilayah kerajaannya, beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan, meninjau daerah-daerah di seluruh wilayah Majapahit dengan diiringi oleh para pembesar kerajaan. Kakawin Negarakertagama mencatat perjalanan raja Hayam Wuruk ke Pajang pada tahun 1351 M, ke daerah Lasem pada tahun 1354 M dan ke daerah pantai selatan (Lodaya) pada tahun 1357 M. Kemudian ia mengadakan perjalanan menuju daerah Lumajang pada tahun 1359 M dan daerah Tirib - Sempur pada tahun 1361 M dan pada tahun 1363 M raja Hayam Wuruk mengunjungi Candi Simping sambil meresmikan sebuah candi yang baru selesai dipindahkan.

Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk adalah penyelenggaraan pesta dalam rangka upacara sraddha agung untuk memperingati dua belas tahun meninggalnya Sri Rajapatni (neneknya). Upacara sraddha tersebut diselenggarakan dengan khidmat dan meriah dalam bulan Badrapada tahun 1362 atas perintah ibunda raja Tribhuwanottunggadewi.

Untuk selanjutnya silahkan membaca PEREBUTAN KEKUASAAN
 

SRI RAJASANAGARA (1)

Pada tahun 1350 putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (kumararaja) dan mendapatkan daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi Mahapatih Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya telah diperoleh Gajah Mada ketika ia mengabdi kepada raja Tribhuwanottunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng.

Dengan bantuan patih Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Singhasari Kertanegara yang memiliki gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah Mada ingin pula melaksanakan gagasan politik Nusantara-nya, sebagaimana yang telah dicetuskannya dalam Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit waktu itu.
Dalam rangka menjalankan politik Nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji kekuasaan Majapahit akan ditundukkan dan dipersatukannya. Dari pemberitaan Prapanca dalam kakawin Negarakertagama kita mendapatkan informasi tentang daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit itu ternyata sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang ini, meliputi daerah-daerah di Sumatera bagian Barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di bagian Timur ; bahkan pengaruh itu telah diperluas pula sampai kebeberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Agaknya politik Nusantara ini berakhir pada tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa di Bubat (pasundan-bubat), yaitu perang antara orang-orang Sunda dengan Majapahit.

Pada waktu itu raja Hayam Wuruk bermaksud hendak mengambil putri Sunda, Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Setelah puteri tersebut dengan ayahnya bersama-sama para pembesar dan pengiringnya sampai di Majapahit, terjadilah perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan raja Hayam Wuruk dengan puteri Sunda itu dilangsungkan dengan begitu saja. Ia menghendaki agar puteri Sunda itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda pengakuan tunduk terhadap kerajaan Majapahit. Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada tersebut, akhirnya tempat kediaman orang-orang Sunda dikepung dan diserbu oleh tentara Majapahit. Terjadilah peperangan di lapangan bubat yang menyebabkan semua orang Sunda gugur, tidak ada yang tertinggal. Peristiwa ini diuraikan secara panjang lebar dalam Kitab Pararaton dan Kidung Sundayana, tetapi tidak diutarakan dalam kakawin Negarakertagama, agaknya hal ini memang disengaja oleh Prapanca, karena peristiwa tersebut tidak menunjang kepada kebesaran Majapahit dan bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politik Gajah Mada untuk menundukkan Sunda.

Selanjutnya silahkan membaca bagian kedua

TRIBHUWANOTTUNGGADEWI

Raja Jayanegara tidak berputera, maka sepeninggalnya pada tahun 1328, beliau digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Beliau menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha dengan nama Rajadewi Maharajasa kawin dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.

Dari kakawin Negarakertagama kita mengetahui bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Kitab Pararaton memberikan versi yang panjang lebar tentang peristiwa Sading itu. Arya Tadah yang waktu itu menjabat Patih Amangkubhumi di Majapahit sedang jatuh sakit. Ia meminta kepada Gajah Mada supaya mau dicalonkan sebagai Patih Amangkubhumi menggantikan dirinya. Gajah Mada tidak mau sebelum ia kembali dari Sadeng untuk menumpas pemberontakan. Maka berangkatlah ia ke Sadeng, tetapi telah kedahuluan oleh Kembar. Ia memerintahkan para mantri untuk menundukkan Kembar, tetapi Kembar membangkang. Akhirnya pemberontakan itu dapat dipadamkan setelah baginda raja turun tangan sendiri, kemudian Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi.

Sesudah peristiwa Sadeng tersebut kemudian muncul suatu peristiwa yang amat terkenal dalam sejarah, yaitu Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada.

Gajah Mada bersumpah di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik.

Setelah peristiwa sumpah palapa tersebut, peristiwa yang kedua adalah penaklukan Bali pada tahun 1343, raja Bali yang berkelakuan jahat dan berbudi rendah dapat dibunuh beserta segenap keluarganya. Mungkin sekali raja Bali tersebut adalah Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang dikenal dalam prasasti Langgaran (Langgahan) tahun 1338.

Berita Cina yang berasal dari seorang pedagang yang bernama Wang Ta-yuan mencatat hal-hal yang menarik perhatian dalam perjalanannya, catatan-catatan tersebut dihimpun dalam suatu buku Tao-ichih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349, menceritakan bahwa She-po (Jawa) sangat padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain dan burung kakak-tua yang kesemuanya merupakan barang ekspor utama. Banyak terdapat bangunan yang indah di She-po, dari luar She-po mendatangkan mutiara, emas, perak, sutera, bahan keramik dan barang dari besi. Mata uang dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam dan tembaga. Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-po, antara lain beberapa daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur serta beberapa daerah lain di Indonesia bagian Timur.

Pada tahun 1334 lahirlah Putera Mahkota yang benama Hayam Wuruk, yang kelahirannya disertai dengan alamat gempa bumi, hujan abu, guntur dan kilat bersambungan di udara sebagai akibat meletusnya gunung Kampud.

Tribhuwana memerintah selama duapuluh dua tahun lamanya, dan pada tahun 1350 beliau mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. Dari kitab Pararaton dan Negarakertagama kita mengetahui bahwa pada tahun 1362 Tribhuwana memerintahkan penyelenggaraan upacara sraddha untuk memperingati duabelas tahun wafatnya Rajapatni Dyah Dewi Tribhuwaneswari. Pada tahun 1372 Tribhuwana meninggal dunia dan di dharmakan di Panggih (tepatnya di wilayah Klinterjo sekarang, karena pada Yoni Nagaraja yang ada terpahat angka tahun meninggalnya Tribhuwanottunggadewi), pendharmaannya bernama Pantarapurwa. Untuk lebih jelasnya silahkan baca Yoni Klinterjo.

JAYANEGARA

Sepeninggal Kertarajasa pada tahun 1309, putranya Jayanagara dinobatkan menjadi raja dengan bergelar Sri Sundarapandyadewadhiswara nama rajabhiseka Wikramottunggadewa. Pada waktu ayahnya masih memerintah, yakni pada tahun 1296, sebagai seorang putra mahkota Jayanagera telah berkedudukan sebagai kumararaja (raja muda) di Daha.

Kertarajasa memiliki tujuh orang dharmaputera (pangalasan wineh suka = pejabat-pejabat yang diberi anugerah raja) yaitu Semi, Kuti, Pangsa, Wedeng, Yuyu, Tanca dan Banyak. Mereka tidak puas dengan penobatan Jayanagara sebagai raja Majapahit, maka mereka mengadakan komplotan untuk menggulingkan Sang Prabhu. Namun menurut adat peraturan, mereka tidak mempunyai wewenang untuk mewaris tahta kerajaan.

Sehabis penyerbuan benteng Pajarakan pada tahun 1316 yang mengakibatkan Nambi dengan segenap keluarganya dibunuh (karena ulah Mahapati), menyusullah pemberontakan Semi pada tahun 1318, yang disusul dengan pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Semi dan Kuti adalah dua dari tujuh orang dharmaputera di kerajaan Majapahit, mereka itu juga binasa akibat fitnah Mahapati. Setelah terjadinya dua pemberontakan ini, rupa-rupanya raja baru sadar akan kekeliruannya untuk mempercayai Mahapati, maka atas perintahnya Mahapati ditangkap dan dibunuh.

Dalam peristiwa pemberontakan Kuti, muncullah seorang tokoh yang kemudian akan memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit, yaitu Gajah Mada. Pada waktu itu ia berkedudukan sebagai seorang anggota pasukan pengawal raja (bekel bhayangkari). Berkat siasat Gajah Mada dalam peristiwa di Bedander, raja dapat diselamatkan dan Kuti dapat dibunuh. Setelah amukti palapa selama dua bulan, sebagai anugerah raja, Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kahuripan, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi patih di Daha.
Pada masa pemerintahanan Jayanagara hubungan dengan Cina rupa-rupanya telah pulih kembali, utusan dari Cina datang setiap tahun mulai tahun 1325 sampai dengan 1328. Utusan yang datang pada tahun 1325 dipimpin oleh Seng-chia-liyeh, mungkin dapat diidentifikasikan sebagai Seng-ch'ia-lieh-yu-lan. Raja Jawa pada waktu itu disebutkan dengan nama Cha-ya-na-ko-nai, yang merupakan transliterasi Cina dari Jayanagara.

Dalam tahun 1321 Odorico di Pordenone mengunjungi Jawa, ia menceritakan bahwa raja Jawa mempunyai tujuh orang raja takluk, istananya penuh dengan perhiasan emas, perak dan permata. Khan yang agung dari Cathay sering bermusuhan dengan raja Jawa, tetapi selalu dapat dikalahkan oleh raja Jawa. Pulau Jawa amat padat penduduknya dan menghasilkan rempah-rempah.

Dari masa pemerintahan raja Jayanagara hanya dikenal tiga buah prasasti yang dikeluarkan olehnya, yaitu prasasti Tuhanaru, prasasti Balambangan dan prasasti Balitar I. Prasasti Tuhanaru yang berangka tahun 1245 Saka (13 Desember 1323) berisi penetapan kembali desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra atas permohonan Dyah Makaradhwaja. Permohonan itu dikabulkan oleh raja karena Dyah Makaradhwaja telah menunjukkan kesetiaan dan kebaktiannya kepada raja, mempertaruhkan jiwanya demi teguhnya kedudukan raja di atas singhasana memerintah seluruh mandala pulau Jawa. Karena kesetiaannya itu Dyah Makaradhwaja dianggap sebagai anak oleh raja.

Prasasti Balambangan yang hanya tinggal satu lempeng, memperingati penetapan daerah Balambangan sebagai daerah pendidikan, karena para rama daerah Balambangan telah menunjukkan kebaktiannya kepada raja dan membantu tegaknya kedudukan raja di atas singgasana, menghancurkan kejahatan di dunia, dan menghapuskan jaman kaliyuga. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan selesainya penumpasan pemberontakan Nambi.

Prasasti Balitar I dipahatkan pada sebuah batu, dan ditemukan di daerah Blitar, prasasti ini sudah sangat usang sehingga sulit dibaca, angka tahunnya ialah 1246 Saka (5 Agustus 1324) dan menyebutkan gelar abhiseka Jayanagara sebagai Sri Sundarapandyadewa nama maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa ....

Pada tahun 1328 raja Jayanagara meninggal karena dibunuh oleh Tanca, seorang dharmaputera yang bertindak sebagai tabib, peristiwa pembunuhan ini dalam kitab Pararaton disebut dengan patanca. Tanca seketika itu juga dibunuh oleh Gajah Mada.

Raja Jayanagara dicandikan di dalam Pura, di Sila Petak dan Bubat, ketiganya dengan arca Wisnu, dan di Sukhalila dengan Amoghasiddhi.

Gambar Belangkas