Showing posts with label majapahit. Show all posts
Showing posts with label majapahit. Show all posts

Monday, May 9, 2011

PUNAKAWAN, BUDAYA ASLI MAJAPAHIT

Ciri khusus kebudayaan Majapahit ialah adanya pembauran antara unsur-unsur Jawa asli dengan unsur-unsur India. Adanya unsur-unsur Jawa asli itu menyebabkan kebudayaan Majapahit  (Jawa Timur) bukan semata-mata tiruan kebudayaan India, meskipun harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan India masih terasa sangat kuat. Pembauran ini terbukti memberi sekedar kesegaran dalam kehidupan kebudayaan dan menimbulkan aliran baru yang disebut dengan aliran Singasari-Majapahit, karena aliran baru tersebut memang berkembang pada jaman kerajaan Singasari-Majapahit.

Timbulnya kesadaran untuk memasukkan unsur-unsur Jawa asli dalam kebudayaan telah terasa sejak jaman kerajaan Kadiri dalam abad ke duabelas, seperti terbukti dari karya Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh. Dalam karya sastra ini untuk pertama kalinya ditampilkan unsur Punakawan yaitu hamba, abdi dalam karya sastra yang berdasarkan cerita dari epik Mahabarata. Dalam Mahabarata unsur punakawan ini tidak dikenal sama sekali, oleh karenanya unsur punakawan adalah merupakan unsur Jawa asli.
Punakawan mengabdi kepada tokoh Pandawa yang memegang peranan utama dalam cerita Mahabarata tersebut. Dalam karya sastra Ghatotkacasraya punakawan ini berjumlah tiga orang, yakni : Punta, Prasanta  dan Juru-Deh. ; ketiga-tiganya mengabdi kepada Abimanyu, putera Arjuna yang memegang peranan utama dalam cerita. Tidak dapat diketahui secara pasti dari mana Mpu Panuluh memperoleh ilham untuk memasukkan punakawan dalam gubahan karya sastra Ghatotkacasraya yang artinya : bantuan Ghatotkaca. Ada kemungkinan bahwa punakawan ini telah memiliki peranan dalam seni panggung wayang, yang pada waktu itu masih berbentuk seni pertunjukkan lisan, tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang nyata.

Suatu kenyataan ialah, bahwa timbulnya unsur punakawan untuk pertama kalinya dalam kesusastraan adalah berkat karya Mpu Panuluh, namun dalam karya sastra tersebut punakawan masih kaku-beku, hanya merupakan embel-embel belaka, tokoh tanpa peranan alias figuran. Mungkin sekali sebabnya adalah Mpu Panuluh terlalu mengutamakan uraian tentang pemandangan alam dan menekankan peranan tokoh-tokoh penting atau central, sehingga lupa memberikan peranan yang berkesan kepada para punakawan ini.

Untuk selanjutnya silahkan menuju atau membaca bagian kedua.

Sunday, May 8, 2011

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (5)

Mengenai pulau-pulau di sebelah Timur Jawa, pertama-tama disebutkan pulau Bali yang telah ditundukkan pada tahun 1343, berikutnya pulau Lombok atau Gurun, yang dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukkan adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Majapahit atas Bali dan Lombok tidak diragukan lagi. Kota Dompo yang terletak di pulau Sumbawa, menurut Negarakertagama pupuh LXXII/3 dan kitab Pararaton telah ditundukkan oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Mpu Nala pada tahun 1357. Penemuan prasasti Jawa dari abad empat belas di pulau Sumbawa (G.P. Rouffaer, Notulen van de Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap, 1910, hal. 110-113 ; F.H van Naersen “Hindoe-Javaansche overblijfselen op Sumbawa” T.K.N.A.G, 1938, hal. 90), memperkuat pemberitaan Negarakertagama dan Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas pulau Sumbawa tak dapat disangsikan lagi. Prasasti tersebut adalah satu-satunya yang pernah diketemukan di kepulauan di luar Jawa. Rupanya Dompo dijadikan batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya di sebelah Timur sampai Wanin di pantai Barat Irian.

Berbeda dengan di Sumatera dan Kalimantan, di daerah sebelah Timur Jawa, kecuali di Bali dan Lombok, tidak ada hikayat-hikayat daerah, oleh karenanya juga tidak terdapat dongengan tertulis tentang hubungan Majapahit dengan daerah-daerah tersebut.

Daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai oleh Majapahit pada pertengahan abad keempatbelas sebagaimana yang diberitakan oleh Negarakertagama dalam pupuh XIII dan XIV adalah seperti berikut ini  :

  1. Di Sumatera : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung.
  2. Di Kalimantan (Tanjung Pura) : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu,  Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano.
  3. Di Semenanjung Tanah Melayu (Hujung Medini) : Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai (Kesah Raja Marong Mahawangsa, Penerbitan Pustaka Antara, Kuala Lumpur 1965, hal. 79. “Akan pulau Serai itu pun juga hampirlah sangat bertemu dengan tanah darat besar ; maka akhirnya itulah yang disebut orang Gunong Jerai karena ia tersangat tinggi”’ Lihat juga Paul Wheatly, The Golden Khersonese, hal. 261).
  4. Di sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Maluku, Wanin, Seran, Timor.

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (4)

Mengenai penundukan beberapa tempat di Tanjungpura atau Kalimantan terdapat pemberitaannya dalam Sejarah Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 112-113), yang kiranya patut dipercaya seperti berikut ini :
“Kaisar Cina mengeluarkan pengumuman tentang pengangkatan Hiawang sebagai raja Pu-Nie untuk menggantikan ayahnya. Hiawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun mempersembahkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa. Mereka mohon agar Kaisar suka mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti tersebut, agar upeti tersebut dapat di kirim ke istana Kaisar …”.

Pu-Nie biasa disamakan dengan Brunei, di bagian Kalimantan, dengan demikian jelaslah bahwa Brunei adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit pada pertengahan kedua abad empatbelas. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kakawin Negarakertagama dalam pupuh XIV/1 yang menyebut Barune.

Penyebutan Kutei, dibagian Timur Kalimantan, terdapat dalam pupuh XII/1 sebagai Tanjung Kutei. Hubungan antara Kutei dan Majapahit diberitakan dalam Silsilah Kutei (Silsilah Kutei diterbitkan oleh Dr. C.A. Mees sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Kutei, Santpoort, 1928), sebagai berikut  :
“Kemudian Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti berangkat ke Majapahit untuk mempelajari tatanegara Majapahit. Ikutlah bersama mereka ialah Maharaja Indra Mulia dari Mataram. Tersebut perkataan Maharaja Sultan dua bersaudara di Majapahit. Mereka diajarkan tata-cara di Keraton dan adat yang dipakai oleh segala menteri. Tidak beberapa lama merekapun kembali ke Kutei. Sebuah keraton yang menurut tata-cara Jawa pun di dirikan. Sebuah pintu gerbang yang dibawa pulang dari Majapahit dijadikan hiasan keraton ini …..”.
Dongengan tersebut jelas menunjukkan hubungan antara Kutei dan Majapahit yang mungkin sekali bertarikh dari pertengahan abad empat belas, di masa kejayaan Majapahit.

Hubungan Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan dengan Majapahit, diberitakan dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Hikayat Banjar dan Kota Waringin diterbutkan oleh Dr. A.A. Cense sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Bandjarmasin, Santpoort, 1928 ; dan oleh Dr. J.J. Ras di bawah judul Hikayat Banjar, The Haque, 1968), dalam bentuk perkawinan antara Puteri Junjun Buih, anak pungut Lembu Mangurat dan Raden Suryanata dari Majapahit seperti berikut : “Adapun raja Majapahit itu sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari ini, masih beroleh enam anak lainnya dan negeri pun terlalu makmur. Maka pada keesokan harinya Lembu Mangurat pun berangkat ke Majapahit dengan pengiring yang banyak sekali. Sesampainya di Majapahit, Lembu Mangurat diterima dengan baik. Permintaan Lembu Mangurat akan Raden Putra sebagai suami Puteri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lembu Mangurat ke negerinya, pesta besar-besaran disediakan untuk mengawinkan Puteri Junjung Buih dengan Raden Putera. Sebelum perkawinan dilangsungkan, suatu suara ghaib meminta Raden Putera menerima mahkota dari langit. Mahkota itulah yang akan meresmikan Raden Putera menjadi raja secara turun-temurun. Hanya keturunannya yang diridhai Allah yang boleh memakai mahkota itu. Maka pesta perkawinanpun berlangsunglah. Adapun nama Raden Putera yang sebenarnya adalah Raden Suryanata yang artinya Raja Matahari ..”.

Selanjutnya silahkan membaca bagian kelima

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (3)

Sejarah Melayu (Sejarah Melayu, edisi Shellabear, Kisah II) mencatat dongengan tentang kejayaan serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit berkat pembelotan seorang pegawai kerajaan yang bernama Rajuna Tapa. Konon sehabis peperangan, Rajuna Tapa kena umpat sebagai balasan pengkhianatannya dan berubah menjadi batu di sungai Singapura, rumahnya roboh dan beras simpanannya menjadi tanah. Dongengan tersebut mengingatkan kita kepada serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit pada sekitar tahun 1350, karena Tumasik termasuk ke dalam program politik Gajah Mada dan tercatat dalam daftar daerah bawahan Majapahit seperti diungkapkan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII.

Kerajaan Islam Samudra Pasai di Sumatera Utara juga tercatat sebagai daerah bawahan Majapahit. Dongengan romantis tentang serbuan Pasai oleh tentara Majapahit diberitakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (Hikayat Raja-Raja Pasai, 1819, disalin dengan huruf Romawi oleh J.P. Mead dalam JMBRAS no. 66; dibicarakan oleh J.L.A. Brandes dalam Pararaton, 1896 ; dibahas oleh R.O. Winstedt dalam karangan “The Chronicles of Pasai”, JMBRAS vol. XVI, 1938 ; oleh Dr. R. Roolvink dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai” di Majalah Bahasa dan Budaya, vol. II, no. 3, 1954 ; oleh Prof. A. Teeuw dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai”, di Malayan and Indonesian Studies, Oxford, 1964), berikut ini :
“Pada pemerintahan Sultan Ahmad di Pasai, puteri Gemerencang dari Majapahit jatuh cinta kepada Abdul Jalil, putera raja Ahmad, hanya karena melihat gambarnya. Oleh karena itu ia berangkat ke Pasai dengan membawa banyak kapal. Sebelum mendarat terdengar kabar bahwa Abdul Jalil telah mati, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Karena kecewa dan putus asa, puteri Gemerancang berdoa kepada Dewa, agar kapalnya tenggelam. Doa itu dikabulkan. Mendengar berita tersebut, Sang Nata Majapahit murka, lalu mengerahkan tentara untuk menyerang Pasai. Ketika tentara Majapahit menyerbu Pasai, Sultan Ahmad berhasil melarikan diri, namun Pasai dapat dikuasai dan diduduki”.

Seperti telah disinggung di atas, ekspedisi ke Sumatera ini mungkin sekali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, karena ada beberapa nama tempat di Sumatera Utara yang mengingatkan serbuan Pasai oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada, dan dongengannya memang ditafsirkan demikian oleh rakyat setempat (H.M. Zainuddin, Tarich Acheh dan Nusantara, Bab XVII, hal. 220-236). Tempat-tempat tersebut misalnya : sebuah bukit di dekat kota Langsa bernama Manjak Pahit (Majapahit). Menurut dongengan tentara Majapahit membuat benteng di atas bukit itu dalam persiapan menyerang Temiang. Berikutnya, rawa antara Perlak dan Peudadawa bernama Paya Gajah (Gajah Mada), karena menurut dongengan rawa itu dilalui oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada dalam perjalanan menuju Lhokseumawe dan Jambu Air, yang menjadi sasaran utama serangannya. Bukit Gajah yang terletak di pedalaman disebut demikian karena setelah mendarat, Gajah Mada beserta tentaranya langsung bergerak menuju bukit itu. Bukit di dekatnya bernama Meunta, perubahan dari nama Mada, karena di situlah tempat Gajah Mada membuat persiapan untuk menyerang Pasai. Demikianlah beberapa nama tempat-tempat di Sumatera Utara yang agak mirip dengan nama Gajah Mada dan Majapahit, oleh karena itu mengingatkan peristiwa sejarah di sekitar tahun 1350 yakni serbuan Pasai oleh tentara Majapahit.

Selanjutnya silahkan baca bagian keempat

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (2)

Baru setelah Jawa Timur dikuasai penuh, Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yang disebut Nusantara. Menurut Pararaton, politik perluasan wilayah seluruh Nusantara ini bertalian dengan program politik Gajah Mada yang diangkat menjadi patih Amangkubumi pada sekitar tahun 1334. Untuk menjayakan program politiknya tersebut, para pembesar Majapahit yang tidak menyetujui disingkirkan oleh Gajah Mada. Pelaksanaan program politik penyatuan Nusantara ini rupanya baru dimulai pada tahun 1343 dengan penundukkan Bali, pulau yang paling dekat dengan pulau Jawa. Selanjutnya diantara tahun 1343 – 1347, Pu Adityawarman meninggalkan pulau Jawa untuk mendirikan kerajaan Malayapura di Minangkabau, Sumatera, seperti diberitakan dalam prasasti Sansekerta pada arca Amoghapasa tahun 1347. Dalam prasasti tersebut diuraikan bahwa Pu Adityawarman bergelar Tuhan Patih (gelar sebutan Tuhan Patih dalam prasasti Amoghapasa, 1347, menunjukkan bahwa Adityawarman menjalankan pemerintahan di kerajaan Malayapura atas nama raja Majapahit Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani).

Berita Cina dari Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 69) menyatakan bahwa pada tahun 1377 Suwarnabhumi (Sumatera) diserbu oleh tentara Jawa. Putera Mahkota Suwarnabhumi tidak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina, karena takut kepada raja Jawa. Kaisar Cina lalu mengirim utusan ke Suwarnabhumi untuk mengantarkan surat pengangkatan, namu di tengah jalan dicegat oleh tentara Jawa dan dibunuh seketika. Meskipun demikian Kaisar Cina tidak melakukan tindakan balasan terhadap raja Jawa, karena mengakui bahwa tindakan balasan tidak dapat dibenarkan. Sebab utama serbuan tentara Jawa (ke Suwarnabhumi) pada tahun 1377 tersebut adalah karena raja Suwarnabhumi telah mengirim utusan ke Cina pada tahun 1373 tanpa sepengetahuan raja Jawa.  Pengiriman utusan tersebut dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap status kerajaan Suwarnabhumi yang sebenarnya adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit. Tarikh penundukan Suwarnabhumi terhadap Majapahit terjadi pada sekitar tahun 1350 ; keruntuhannya mengakibatkan jatuhnya daerah-daerah bawahannya di Sumatera dan di semananjung Tanah Melayu ke dalam kekuasaan Majapahit. Dua belas kerajaan Suwarnabhumi yang jatuh ke tangan Majapahitadalah : Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Woloan, Cerating, Paka, Tembeling, Grahi, Palembang, Muara Kampe dan Lamuri. Hampir semua daerah-daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah-daerah bawahan Majapahit seperti ternyata dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII dan XIV. Daftar itu menyebut juga nama-nama daerah bawahan lainnya. Rupanya Palembang dijadikan batu loncatan bagi tentara Majapahit untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di sebelah Barat pulau Jawa. Namun di daerah–daerah ini tidak diketemukan prasasti sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah yang ditulis kemudian, menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam bentuk dongengan, dan bukan merupakan catatan sejarah khusus. Dongengan-dongengan tersebut menunjukkan sekedar kekaguman terhadap kebesaran dan keagungan Majapahit.

Selanjutnya silahkan membaca bagian ketiga

HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH (2)

Dari Patih perintah turun ke wedana, semacam pembesar distrik ; dari wedana turun ke akuwu (pembesar sekelompok desa), semacam camat jaman sekarang ; dari akuwu turun ke buyut, pembesar desa ; dan dari buyut turun ke penghuni desa. Demikianlah tingkat organisasi pemerintahan di jaman Majapahit, dari pucuk pimpinan negara sampai rakyat di pedesaan. apa yang berlaku di tanah Jawa ini diterapkan dengan patuh di pulau Bali.

Tidak demikian halnya dengan pemerintahan di daerah seberang lautan. Pemerintahan seberang lautan tidak mengalami perubahan apapun setelah menjadi daerah bawahan Majapahit. Dalam soal urusan negara, raja-raja atau pembesar daerah bawahan di seberang lautan tersebut berkuasa dan berdaulat penuh. Artinya seorang raja atau pembesar daerah bawahan menerapkan sistem kekuasaan penuh di tangan raja atau pembesar daerah setempat.


Kewajiban utama daerah bawahan terhadap pusat adalah menyerahkan upeti tahunan dan menghadap raja Majapahit pada waktu-waktu yang telah ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit. Pemerintah pusat dalam hal ini raja Majapahit tidak mencampuri urusan daerah, berarti daerah-daerah bawahan bersifat otonom penuh. Negarakertagama dalam pupuh XVI/5 menegaskan bahwa Majapahit memelihara angkatan laut yang sangat besar untuk melindungi daerah-daerah bawahan dan menghukum pembesar daerah bawahan yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Konon angkatan laut Majapahit telah banyak berjasa, terutama dalam merebut kekuasaan di daerah seberang lautan dan membinasakan musuh-musuh yang melawan kekuasaan Majapahit. Oleh karena itu angkatan laut Majapahit sangatlah ditakuti. Pembinaan angkatan laut yang besar adalah merupakan syarat mutlak bagi Majapahit sebagai negara maritim dalam mempertahankan kekuasaannya di lautan teduh (Pasifik) ; sebagian ditempatkan di pantai Utara pulau Jawa untuk melindungi negara induk dan sebagian lagi disebar di beberapa tempat untuk mengawasi daerah bawahan. Tidak diketahui secara pasti seberapa besar armada laut Majapahit dalam abad empatbelas. Tetapi satu hal yang pasti, berdasarkan berita Cina dari Dinasti Ming bahwa pada tahun 1377 pasukan Majapahit telah berhasil menyerbu Suwarnabhumi serta mencegat  dan membunuh utusan dari Cina yang mengantarkan surat pengangkatan putera mahkota Suwarnabhumi, tetapi Kaisar Cina tidak berani melakukan tindakan balasan.

Negarakertagama di dalam pupuh XV memberitakan bahwa pada musim-musim tertentu pemerintah pusat mengirimkan pegawai dan pendeta-pendeta ke daerah seberang untuk menarik upeti. Dalam menjalankan tugas itu para pegawai dan para pendeta dilarang keras mencari untung demi kepentingannya sendiri, maksudnya agar jangan sampai tugas negara itu dilalaikan. Mungkin sekali perjalanan mereka ke daerah-daerah dikawal oleh angkatan laut Majapahit, sehingga keamanan mereka terjamin dan pengumpulan upeti berjalan lancar, karena pembesar-pembesar daerah takut kepadanya. Disamping mengumpulkan upeti, mereka juga bertugas membuat laporan tentang keadaan daerah-daerah yang mereka kunjungi, sehingga dengan demikian pemerintah pusat mengetahui seluk-beluk daerah-daerah bawahannya. Dapat dipastikan bahwa Prapanca sebagai dharmadhyaksa kasogatan memanfaatkan laporan-laporan para pendeta yang pernah berkunjung ke daerah-daerah, sehingga pengetahuannya tentang keadaan daerah-daerah di seberang lautan maupun di tanah Jawa menjadi sangat luas dan mendalam. 
Harta benda persembahan upeti diserahkan kepada pemerintah pusat, terutama dimasukkan sebagai harta kekayaan raja untuk membiayai segala macam pengeluaran istana. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa raja dapat membangun istana dan gedung-gedung para pembesar seperti diuraikan dalam Negarakertagama pupuh VIII-XIII, dan membuat pesta besar-besaran baik demi kepentingan pribadi keluarga raja maupun demi perayaan-perayaan sepanjang tahun, dimana rakyat juga ikut menikmati. Segala-galanya serba besar lagi mewah untuk menunjukkan keagungan kerajaan yang memang subur makmur. Kekayaan raja berupa abdi, harta, kereta, gajah dan kuda dikatakan berlimpah-limpah bagai samudra.

Selanjutnya silahkan menuju ke bagian ketiga.

HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH (1)

Mungkin daftar daerah bawahan sebagaimana yang pernah ditulis dalam postingan terdahulu dirasakan agak berlebihan, sebaliknya perlu dipahami bahwa pengertian kerajaan/daerah bawahan Majapahit pada abad ke empat belas berbeda dengan pengertian koloni pada jaman modern ini. Persembahan upeti dari kerajaan-kerajaan bawahan tidak banyak berarti nilainya bagi Majapahit. Pemberian upeti yang kecil ini sudah dianggap sebagai bukti pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit atas daerah yang bersangkutan, dan oleh karenanya daerah itu dianggap sebagai daerah bawahan Majapahit. Contoh misalnya : Kerajaan Pu-Ni yang dipimpin oleh Hiawang hanya memberikan upeti sebesar 40 kati kapur barus. Hal ini sangat tidak bernilai secara ekonomis.

Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad empatbelas, Majapahit merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara dan menggantikan kedudukan Mataram serta Sriwijaya, dua buah negara yang berbeda dasarnya. Mataram adalah negara pertanian (agraris) dan Sriwijaya adalah negara maritim (kelautan). Kedua ciri tersebut dimiliki oleh kerajaan Majapahit sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara, yang sanggup menghimpun daerah dan kepulauan di bawah lindungan satu negara (Majapahit). Hal ini merupakan peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penyatuan Jawa dan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit menyebabkan timbulnya kuasa yang luar biasa besar, yang ditakuti oleh negara-negara tetangga di daratan Asia. Pertumbuhan tersebut membawa pelbagai akibat, diantaranya masalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Bertambah luas wilayahnya, bertambah sulit untuk menjalankan roda pemerintahan, serta bertambah besar pula alat-alat pemerintahan yang diperlukan.

Di tanah Jawa ada sebelas negara bawahan, masing-masing diperintah oleh raja-raja bawahan, serta terdapat lima propinsi atau daerah yang disebut dengan mancanegara, dan masing-masing diperintah oleh seorang Juru Pengalasan atau Adipati, yaitu : Daha diperintah oleh Bhre Daha alias Dyah Wiyat Sri Rajadewi, Wengker diperintah oleh raja Wijayarajasa, Matahun diperintah oleh oleh raja Rajasawardhana, Lasem diperintah oleh Bhre Lasem, Pajang diperintah oleh Bhre Pajang, Paguhan diperintah oleh Singhawardhana, Kahuripan diperintah oleh Tribhuwana Tunggadewi, Singasari diperintah oleh raja Kertawardhana, Mataram diperintah oleh Bhre Mataram alias Wikramawardhana, Wirabhumi diperintah oleh Bhre Wirabhumi dan Pawanuhan diperintah oleh puteri Surawardhani. Semua pemegang kuasa di negara bawahan adalah merupakan keluarga raja yang berkuasa (Majapahit). 

Lima propinsi yang disebut Mancanegara disebutkan menurut kiblat, yakni di Utara, Timur, Selatan, Barat dan di Pusat, masing-masing diperintah oleh seorang Juru Pengalasan yang bergelar Rakrian. Baik negara bawahan maupun daerah propinsi mengambil pola pemerintahan pusat. Raja dan Juru Pengalasan adalah pembesar yang bertanggung-jawab, namun pemerintahannya dikuasakan kepada patih, sama dengan pemerintahan pusat, dimana raja Majapahit adalah orang yang paling bertanggung-jawab, tetapi pemerintahannya ada di tangan Patih Amangkubumi atau patih seluruh negara. Itulah sebabnya maka menurut Negarakertagama pupuh X, para patih, jika datang ke Majapahit, mengunjungi gedung kepatihan amangkubumi yang dipimpin oleh Gajah Mada. Administrasi pemerintahan Majapahit dikuasakan kepada lima pembesar yang disebut Sang Panca ri Wilwatikta yakni :  Patih seluruh negara, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Mereka itulah yang banyak dikunjungi oleh para pembesar negara bawahan dan daerah (propinsi) untuk urusan pemerintahan. Apa yang direncanakan di pusat, akan dilaksanakan di daerah oleh para pembesar tersebut.

Selanjutnya dipersilahkan untuk membaca bagian yang kedua.

Saturday, May 7, 2011

POLA AGRARIS-AGAMIS DI JAMAN MAJAPAHIT

Meskipun memiliki armada laut yang kuat, Majapahit tetap mempertahankan pola agraris-agamis di dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya dalam kaitan memperkuat perekonomian kerajaan Majapahit pada masa itu.  Pola agraris-agamis ini dapat kita telusuri dari kakawin Negarakertagama utamanya dalam pupuh LXXXII yang menyebutkan : "(1) Begitulah tanah Jawa pada masa pemerintahan Sri Nata (Hayam Wuruk) ; penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat ; baginda menjadi teladan dalam menjalankan enam darma ; para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabhu (2) Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala ;  Sri Nata Wengker  membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang ; mendirikan perdikan budha di Rawi, Locanapura, Kapulungan ; Baginda sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi (3) Semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas ; Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya ; sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta ; memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata (Hayam Wuruk)".
Dari uraian pupuh tersebut di atas jelaslah kepada kita bahwa raja Majapahit yang pada waktu itu Dyah Hayam Wuruk, memberikan contoh perilaku agamis dengan pembangunan tempat-tempat suci (ibadah) dan menjalankan enam darma. Dalam bidang pembangunan ekonomi, sang raja memberikan contoh dengan membuka ladang-ladang Watsari di daerah Tigawangi. Bukti pembukaan ladang oleh Hayam Wuruk ini masih dapat ditemukan di daerah Pare, Kediri yang berupa terowongan air bawah tanah yang dahulunya dipergunakan untuk proyek irigasi. Terowongan-terowongan air ini berada di sekitar Candi Surowono. Bahkan di daerah Surowono dan Sumberagung, masa tanam dalam satu tahun dapat mencapai tiga kali tanpa mengalami kekeringan.
Dengan demikian tampaklah kepada kita betapa tingginya tehnologi pengairan yang telah dimiliki oleh rakyat Majapahit pada masa itu.

MAJAPAHIT : KITAB KUTARA MANAWA

Dalam kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, sebagai akibat tindakannya membunuh Mahisa Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut kita dapat mengetahui perihal adanya kitab undang-undang Majapahit yang disebut dengan Kutara Manawa. Pemberitaan kidung Sorandaka tersebut perlu untuk diteliti kebenarannya (karena termasuk golongan sastera muda yang ditulis setelah runtuhnya kerajaan Majapahit) dengan mempergunakan sumber-sumber sejarah yang lainnya, semacam prasasti-prasasti yang ada.



Pada prasasti Bendasari yang jelas-jelas dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk),  termuat dalam O.J.O LXXXV, lempengan 6a, disebutkan perihal kitab undang-undang tersebut dalam kalimat seperti ini :"makatanggwan rasagama ri sang Hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda karing malama" yang artinya : "Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu".


Selanjutnya prasasti Trawulan berangka tahun 1358 M, dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5 dan 6 menyebutkan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa tersebut, bunyinya seperti berikut ini : ".....ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wiwacana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ......" yang artinya adalah : "Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan makna kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa".

Atas penjelasan kedua prasasti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab perundang-undangan pada jaman kerajaan Majapahit disebut dengan kitab Kutara Manawa.

Penjelasan secara rinci dapat anda baca di sini.

Friday, May 6, 2011

ASPEK BUDAYA MAJAPAHIT

Pada jaman kerajaan Majapahit, agama menjiwai segenap lapangan kehidupan termasuk bidang kebudayaan. Semua cabang kebudayaan seperti seni bangunan, seni pahat, seni sastera dan seni panggung, semuanya bernafaskan keagamaan. Namun pada jaman Majapahit tidak menghasilkan bangunan-bangunan keagamaan semegah kelompok Candi Borobudur dan Prambanan sebagaimana yang dibangun pada masa kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah.

Kelompok Candi Borobudur, Pawon dan Mendut adalah bangunan ke-Budhaan yang dibangun pada jaman pemerintahaan dinasti Syailendra pada permulaan abad sembilan. Pada waktu itu baik raja maupun rakyatnya memeluk agama Budha. Pembangunan kelompok candi tersebut dimaksudkan demi pengagungan agama semata-mata. Setelah dinasti Syailendra jatuh pada pertengahan abad sembilan, Mataram diperintah oleh dinasti baru yang memeluk agama Siwa, dimulai oleh Rakai Pikatan, munculnya Rakai Pikatan membawa kehidupan kembali agama Siwa di Jawa Tengah. Semangat keagamaan ini menggugah semangat membangun kelompok Candi Prambanan pada permulaan abad kesepuluh untuk mengimbangi kelompok Candi Borobudur. Baik Candi Borobudur maupun Candi Prambanan adalah merupakan bangunan keagamaan yang mengagumkan, pembangunan monumen semegah itu hanya dimungkinkan terutama berkat dorongan semangat keagamaan yang menyala-nyala.

Tidak demikian halnya dengan bangunan-bangunan candi di Jawa Timur pada jaman Singasari-Majapahit, bangunan candi-candi yang ada adalah candi makam keluarga raja, jumlahnya banyak tetapi wujudnya kecil-kecil jika dibandingkan dengan kelompok Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Pembangunan candi-candi di Jawa Timur dimaksudkan sebagai tempat pemujaan para leluhur yakni arwah keluarga raja yang telah mangkat; digunakan untuk menyimpan abu jenazah dan arca dewa sebagai lambang keluarga yang dipuja di situ.

Pada tahun 1365 M, menurut Negarakertagama LXXIII, LXXIV jumlah candi-candi makam raja tersebut ada duapuluh tujuh buah, mulai Kagenengan, Tumapel, Kidal, Jajaghu, Wedwawedan, Pikatan, Bakul, Jawajawa, Antang Trawulan, Kalangbret, Jago, Blitar, Silapetak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang, Puger, Kamal Pandak, Segala, Simping, Sri Ranggapura, Budi Kuncir dan Prajnyaparamitapuri di Bayalangu.

CANDI-CANDI MAKAM MAJAPAHIT

Kitab Negarakertagama dalam Pupuh LXXIII pada point yang ke 3 menyebutkan "Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan, disebut pertama karena tertua, Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan (di Tuban), Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Kalang Brat dan Jago, lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger".
Selanjutnya di dalam pupuh XXXVII menyajikan uraian tentang candi makam Kagenengan demikian "Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya tidak bertara, pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, dari luar bersabuk, di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya, ditanami aneka ragam bunga : tanjung, nagasari dan sebagainya, menaranya lampai, menjulang tinggi seperti gunung Meru di tengah-tengah, sangat indah, di dalam candi ada arca dewa Siwa, sebagai lambang raja yang dipuja di situ, ialah datu-leluhur raja Majapahit yang disembah di seluruh dunia".
Candi makam Kagenengan telah musnah, hanya berkat uraian Negarakertagama kita bisa mengetahui tentang keberadaannya.
Perlu di catat, bahwa si Penulis Kitab Negarakertagama ini hidup pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Rajasanagara), jadi makam-makam raja setelah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tidak disebutkan dalam kitab tersebut.

CANDI JAGO (JAJAGHU)
Diantara 27 candi makam yang masih bertahan dalam keadaan hampir utuh adalah Candi Jago yang lebih terkenal dengan Candi Tumpang. Situs Candi Jago terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dahulunya bernama Jayaghu. Candi ini menurut Negarakertagama diketahui sebagai salah satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Menurut kitab Negarakertagama pupuh XLI/4 candi Jago adalah candi Budha, di dalamnya terdapat arca Budha (amoghapasya) sebagai lambang mendiang raja Wisnuwardhana. Teras yang pertama memuat relief Kunjarakarna dongengan didaktik yang tidak asing lagi dalam kesasteraan Budha. Pada teras yang kedua terpahat relief Partayajnya sebuah cerita dari Mahabarata tentang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila, meminta senjata yang akan digunakan dalam perang Bharatayudha melawan Kurawa. Teras yang ketiga berisi relief Arjuna Wiwaha  cerita perkawinan antara Arjuna dengan Dewi Suprabha, hadiah bhatara Guru kepada Arjuna setelah mengalahkan raja raksasa Nirwatakawaca. Badan candi itu sendiri dihias dengan adegan Kalayawana dan Kresna yang sepintas dapat diceritakan : setelah Kresna diusir oleh Kayawana dari Dwarawati, ia mengungsi ke Mucukunda, tempat bertapa seorang pendeta, dan tidur di tempat duduk sang pendeta, Kalayawana mengejarnya ke Mucukunda, ketika akan membunuh Kresna sang pendeta merintanginya dengan ucapan bahwa perbuatan yang demikian itu tidaklah wajar, mendengar ucapan itu Kalayawana marah dan mencaci maki sang pendeta, kemudian Kalayawana dipandang oleh sang pendeta mendadak hangus dan binasa, sepeninggal Kalayawana, Kresna kembali ke Dwarawati dan membangun kembali kerajaannya.

Arca Budha Amoghapasa


CANDI JAWI
Candi Jawi terletak di kaki G. Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, sekitar 31 km dari kota Pasuruan. Bangunan candi dapat dikatakan masih utuh karena telah berkali-kali mengalami pemugaran. Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dari kondisinya yang sudah runtuh. Akan tetapi, pemugaran tidak dapat dituntaskan karena banyak batu yang hilang dan baru disempurnakan pada tahun 1975-1980.  Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 m2, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 m. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya. Posisi Candi Jawi yang menghadap ke timur, membelakangi Gunung Pananggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa. Sebagian ahli lain tetap meyakini bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Buddha.
Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m dengan pahatan relief yang memuat kisah tentang seorang pertapa wanita. Tangga naik yang tidak terlalu lebar terdapat tepat di hadapan pintu masuk ke garba grha (ruang dalam tubuh candi). Pahatan yang rumit memenuhi pipi kiri dan kanan tangga menuju selasar. Sedangkan pipi tangga dari selasar menuju ke lantai candi dihiasi sepasang arca binatang bertelinga panjang.
Di sekeliling tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar. Bingkai pintunya polos tanpa pahatan, namun di atas ambang pintu terdapat pahatan kalamakara, lengkap dengan sepasang taring, rahang bawah, serta hiasan di rambutnya, memenuhi ruang antara puncak pintu dan dasar atap. Di kiri dan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca. Di atas ambang masing-masing relung terdapat pahatan kepala makhluk bertaring dan bertanduk.

Ruangan dalam tubuh candi saat ini dalam keadaan kosong. Tampaknya semula terdapat arca di dalamnya. Negarakertagama menyebutkan bahwa di dalam bilik candi terdapat arca Syiwa dengan Aksobaya di mahkotanya. Selain itu disebutkan juga adanya sejumlah arca dewa-dewa dalam kepercayaan Syiwa, seperti arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesha, Nandi, dan Brahma. Tak satupun dari arca-arca tersebut yang masih berada di tempatnya. Konon arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya.
Dinding luar tubuh candi dihiasi dengan relief yang sampai saat masih belum ada yang berhasil membacanya. Mungkin karena pahatannya yang terlalu tipis. Mungkin juga karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Kitab Negarakertagama yang menceritakan candi ini secara cukup rincipun sama sekali tidak menyinggung soal relief tersebut. Menurut juru kunci candi, relief itu harus dibaca menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), seperti yang digunakan dalam membaca relief di Candi Kidal. Masih menurut juru kunci candi, relief yang terpahat di tepi barat dinding utara menggambarkan peta areal candi dan wilayah di sekitarnya.
Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran Syiwa Buddha. Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara. Hal ini memang agak mengherankan, karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan Singasari. Diduga hal itu disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia kepada raja dan banyak yang menganut ajaran Syiwa-Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa saat Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Yoni yang dahulu berada di Candi Jawi

Replika Bhairawa Kartanegara


CANDI SIMPING (CANDI SUMBERJATI)
Adalah Candi Makam Sri Kertarajasa Jayawardana (Bhre Wijaya) yang meninggal pada tahun 1309, candi ini berada di Sumberjati dekat Blitar.

Penegasan tentang keberadaan Candi Makam ini tertulis dalam Kitab Negarakertagama Pupuh XLVII bagian yang ketiga, yang berbunyi : ' .... tahun Saka surya mengitari bulan (1231 Saka atau 1309 M), Sang Prabu (Wijaya) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.'
Kondisi  Candi Simping (Candi Sumberjati) saat ini hanya tinggal lantai pondasinya saja, sementara bangunan utuhnya telah runtuh. Candi ini dibangun dengan bahan dasar batu andesit (berbeda dengan candi-candi yang masih dapat kita temukan di wilayah Trowulan, Mojokerto).

  
Foto-foto berikut adalah reruntuhan Candi Simping (Candi Sumberjati)

Makara (lambang penyucian) pada Candi Simping


Lambang pelepasan arwah (roh)




Lingga Yoni yang menjadi pusat Candi Simping


Dan inilah sketsa Candi Simping (Candi Sumberjati)


Dan inilah arca Harira, perwujudan Bhre Wijaya (Sri Kertarajasa Jayawardana)

Arca Harihara

Thursday, May 5, 2011

PENDEWAAN TOKOH-TOKOH PENTING

Kitab Negarakertagama di dalam pupuh II/1 menguraikan bahwa Puteri Gayatri alias Rajapatni pada usia lanjut menjadi wikuni/bhiksuni dan mangkat pada tahun 1350 M. Negarakertagama pupuh LXIII - LXIX menguraikan upacara pesta Sraddha pada tahun 1362 M sebagai peringatan dua belas tahun mangkatnya Rajapatni (Isteri Bhre Wijaya/pendiri Majapahit, yang juga ibu Tribhuwanottunggadewi). Negarakertagama pupuh XIX/1 memberitakan bahwa jenazah puteri Rajapatni dicandikan di Kamal Pandak, candi makamnya di Bayalangu yang dibangun pada tahun 1362 M disebut Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkahi oleh pendeta Jnyanawidi. Piagam penanggungan 1296 M serta piagam Kertarajasa 1305 M, memuji-muji kecantikan puteri Gayatri (puteri bungsu raja Kertanegara), dan oleh karenanya paling dikasihi oleh raja Kertarajasa (raja Majapahit pertama). Atas petunjuk-petunjuk di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mungkin sekali arca Dewi Prajnyaparamita adalah merupakan arca puteri Gayatri (Rajapatni) yang dahulunya di letakkan di Candi Prajnyaparamita Puri di Bayalangu (Tulungagung). Prajnyaparamita adalah merupakan salah satu aspek seorang 'bodhisatwa' yang disebut paramita. Arti harafiahnya adalah : 'kesempurnaan dalam kebijaksanaan' yang merupakan salah satu dari enam atau sepuluh sifat transendental manusia. Istilah Dewi Pradjnyaparamita merujuk kepada personifikasi atau perwujudan konsep kebijaksanaan sempurna, yakni dewi kebijaksanaan transendental dalam aliran Budha Mahayana.


Read more :  di sini

Sunday, May 1, 2011

SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA

Sri Kertarajasa Jayawarddhana adalah nama gelar Nararya Sanggramawijaya (Wijaya) yang telah berhasil mendirikan kerajaan Majapahit sekaligus menjadi raja Majapahit yang pertama, memerintah dari tahun 1293 - 1309 M. Beliau adalah keturunan kerajaan Singhasari, putera Dyah Lembu Tal, cucu Narasinghamurti sekaligus menjadi menantu raja Kertanegara.

Beliau memiliki empat permaisuri, yaitu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita dan  Sri Rajendradewi Dyah Gayatri. Dengan parameswari Tribhuwaneswari beliau memperoleh seorang anak (angkat) laki-laki bernama Jayanagara (keterangan ini terdapat di dalam prasasti Sukamrta dan prasasti Balawi), dan sebagai putera mahkota ia mendapat Kadiri (Daha) sebagai daerah lungguhnya. Kitab Negarakertagama dalam pupuh XLVII/2 menjelaskan ' ....tersebut tahun saka tujuh orang dan surya (1217), baginda (Wijaya) menobatkan putranya di Kediri, perwira, bijak, pandai, putera Indreswari, bergelar Sang raja putera Jayanagara ...'. Indreswari ini lebih layak dianalogikan dengan Tribhuwaneswari, sang permaisuri yang pertama.
Kitab Pararaton di dalam bagian yang ke VII dan VIII menyebutkan lain, yaitu Jayanegara adalah nama gelaran, sedang nama kecilnya adalah Kalagemet anak Wijaya dengan Dara Pethak (seorang puteri Melayu) hasil dari ekspedisi Pamalayu.

Read more: baca di sini
 

SRI RAJASANAGARA (2)

Dari uraian Kitab Pararaton kita mengetahui bahwa setelah peristiwa Bubat berakhir, Gajah Mada mukti palapa, mengundurkan diri dari jabatannya, namun beberapa saat kemudian ia aktif kembali dalam pemerintahan, tetapi tidak terdapat keterangan lebih lanjut perihal pelaksanaan program politik-Nusantaranya. Di dalam kakawin Negarakertagama disebutkan bahwa raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) pernah menganugerahkan semuab sima kepada Gajah Mada yang kemudian diberi nama darmma kasogatan Madakaripura, di tempat inilah agaknya Gajah Mada menetap selama ia mukti palapa.

Berhubung dengan meninggalnya puteri Sunda (Dyah Pitaloka) dalam peristiwa di Bubat, maka kemudian raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori anak dari Bhre Wengker Wijayarajasa dari perkawinannya dengan Bhre Daha Rajadewi Maharajasa (bibi Hayam Wuruk).

Masa pemerintahan Hayam Wuruk nampak sekali usaha-usaha untuk meningkatkan kemakmuran bagi rakyat, berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dan kebudayaan sangatlah diperhatikan. Hasil pemungutan berbagai macam pajak dan upeti dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi seluruh kerajaan dalam berbagai bidang. Kakawin Negarakertagama dan beberapa buah prasasti yang berasal dari pemerintahan raja Hayam Wuruk memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Untuk keperluan peningkatan kesejahteraan di bidang pertanian, raja telah memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran pengairan, serta pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Di beberapa tempat sepanjang sungai-sungai besar diadakan tempat-tempat penyeberangan yang sangat memudahkan lalu-lintas antar daerah.

Raja Hayam Wuruk sangatlah memperhatikan kondisi daerah-daerah dalam wilayah kerajaannya, beberapa kali ia mengadakan perjalanan kenegaraan, meninjau daerah-daerah di seluruh wilayah Majapahit dengan diiringi oleh para pembesar kerajaan. Kakawin Negarakertagama mencatat perjalanan raja Hayam Wuruk ke Pajang pada tahun 1351 M, ke daerah Lasem pada tahun 1354 M dan ke daerah pantai selatan (Lodaya) pada tahun 1357 M. Kemudian ia mengadakan perjalanan menuju daerah Lumajang pada tahun 1359 M dan daerah Tirib - Sempur pada tahun 1361 M dan pada tahun 1363 M raja Hayam Wuruk mengunjungi Candi Simping sambil meresmikan sebuah candi yang baru selesai dipindahkan.

Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk adalah penyelenggaraan pesta dalam rangka upacara sraddha agung untuk memperingati dua belas tahun meninggalnya Sri Rajapatni (neneknya). Upacara sraddha tersebut diselenggarakan dengan khidmat dan meriah dalam bulan Badrapada tahun 1362 atas perintah ibunda raja Tribhuwanottunggadewi.

Untuk selanjutnya silahkan membaca PEREBUTAN KEKUASAAN
 

SRI RAJASANAGARA (1)

Pada tahun 1350 putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (kumararaja) dan mendapatkan daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi Mahapatih Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya telah diperoleh Gajah Mada ketika ia mengabdi kepada raja Tribhuwanottunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng.

Dengan bantuan patih Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Singhasari Kertanegara yang memiliki gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah Mada ingin pula melaksanakan gagasan politik Nusantara-nya, sebagaimana yang telah dicetuskannya dalam Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit waktu itu.
Dalam rangka menjalankan politik Nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji kekuasaan Majapahit akan ditundukkan dan dipersatukannya. Dari pemberitaan Prapanca dalam kakawin Negarakertagama kita mendapatkan informasi tentang daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit itu ternyata sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang ini, meliputi daerah-daerah di Sumatera bagian Barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di bagian Timur ; bahkan pengaruh itu telah diperluas pula sampai kebeberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Agaknya politik Nusantara ini berakhir pada tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa di Bubat (pasundan-bubat), yaitu perang antara orang-orang Sunda dengan Majapahit.

Pada waktu itu raja Hayam Wuruk bermaksud hendak mengambil putri Sunda, Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Setelah puteri tersebut dengan ayahnya bersama-sama para pembesar dan pengiringnya sampai di Majapahit, terjadilah perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan raja Hayam Wuruk dengan puteri Sunda itu dilangsungkan dengan begitu saja. Ia menghendaki agar puteri Sunda itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda pengakuan tunduk terhadap kerajaan Majapahit. Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada tersebut, akhirnya tempat kediaman orang-orang Sunda dikepung dan diserbu oleh tentara Majapahit. Terjadilah peperangan di lapangan bubat yang menyebabkan semua orang Sunda gugur, tidak ada yang tertinggal. Peristiwa ini diuraikan secara panjang lebar dalam Kitab Pararaton dan Kidung Sundayana, tetapi tidak diutarakan dalam kakawin Negarakertagama, agaknya hal ini memang disengaja oleh Prapanca, karena peristiwa tersebut tidak menunjang kepada kebesaran Majapahit dan bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politik Gajah Mada untuk menundukkan Sunda.

Selanjutnya silahkan membaca bagian kedua

TRIBHUWANOTTUNGGADEWI

Raja Jayanegara tidak berputera, maka sepeninggalnya pada tahun 1328, beliau digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Beliau menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha dengan nama Rajadewi Maharajasa kawin dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.

Dari kakawin Negarakertagama kita mengetahui bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Kitab Pararaton memberikan versi yang panjang lebar tentang peristiwa Sading itu. Arya Tadah yang waktu itu menjabat Patih Amangkubhumi di Majapahit sedang jatuh sakit. Ia meminta kepada Gajah Mada supaya mau dicalonkan sebagai Patih Amangkubhumi menggantikan dirinya. Gajah Mada tidak mau sebelum ia kembali dari Sadeng untuk menumpas pemberontakan. Maka berangkatlah ia ke Sadeng, tetapi telah kedahuluan oleh Kembar. Ia memerintahkan para mantri untuk menundukkan Kembar, tetapi Kembar membangkang. Akhirnya pemberontakan itu dapat dipadamkan setelah baginda raja turun tangan sendiri, kemudian Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi.

Sesudah peristiwa Sadeng tersebut kemudian muncul suatu peristiwa yang amat terkenal dalam sejarah, yaitu Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada.

Gajah Mada bersumpah di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik.

Setelah peristiwa sumpah palapa tersebut, peristiwa yang kedua adalah penaklukan Bali pada tahun 1343, raja Bali yang berkelakuan jahat dan berbudi rendah dapat dibunuh beserta segenap keluarganya. Mungkin sekali raja Bali tersebut adalah Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang dikenal dalam prasasti Langgaran (Langgahan) tahun 1338.

Berita Cina yang berasal dari seorang pedagang yang bernama Wang Ta-yuan mencatat hal-hal yang menarik perhatian dalam perjalanannya, catatan-catatan tersebut dihimpun dalam suatu buku Tao-ichih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349, menceritakan bahwa She-po (Jawa) sangat padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain dan burung kakak-tua yang kesemuanya merupakan barang ekspor utama. Banyak terdapat bangunan yang indah di She-po, dari luar She-po mendatangkan mutiara, emas, perak, sutera, bahan keramik dan barang dari besi. Mata uang dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam dan tembaga. Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-po, antara lain beberapa daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur serta beberapa daerah lain di Indonesia bagian Timur.

Pada tahun 1334 lahirlah Putera Mahkota yang benama Hayam Wuruk, yang kelahirannya disertai dengan alamat gempa bumi, hujan abu, guntur dan kilat bersambungan di udara sebagai akibat meletusnya gunung Kampud.

Tribhuwana memerintah selama duapuluh dua tahun lamanya, dan pada tahun 1350 beliau mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. Dari kitab Pararaton dan Negarakertagama kita mengetahui bahwa pada tahun 1362 Tribhuwana memerintahkan penyelenggaraan upacara sraddha untuk memperingati duabelas tahun wafatnya Rajapatni Dyah Dewi Tribhuwaneswari. Pada tahun 1372 Tribhuwana meninggal dunia dan di dharmakan di Panggih (tepatnya di wilayah Klinterjo sekarang, karena pada Yoni Nagaraja yang ada terpahat angka tahun meninggalnya Tribhuwanottunggadewi), pendharmaannya bernama Pantarapurwa. Untuk lebih jelasnya silahkan baca Yoni Klinterjo.

JAYANEGARA

Sepeninggal Kertarajasa pada tahun 1309, putranya Jayanagara dinobatkan menjadi raja dengan bergelar Sri Sundarapandyadewadhiswara nama rajabhiseka Wikramottunggadewa. Pada waktu ayahnya masih memerintah, yakni pada tahun 1296, sebagai seorang putra mahkota Jayanagera telah berkedudukan sebagai kumararaja (raja muda) di Daha.

Kertarajasa memiliki tujuh orang dharmaputera (pangalasan wineh suka = pejabat-pejabat yang diberi anugerah raja) yaitu Semi, Kuti, Pangsa, Wedeng, Yuyu, Tanca dan Banyak. Mereka tidak puas dengan penobatan Jayanagara sebagai raja Majapahit, maka mereka mengadakan komplotan untuk menggulingkan Sang Prabhu. Namun menurut adat peraturan, mereka tidak mempunyai wewenang untuk mewaris tahta kerajaan.

Sehabis penyerbuan benteng Pajarakan pada tahun 1316 yang mengakibatkan Nambi dengan segenap keluarganya dibunuh (karena ulah Mahapati), menyusullah pemberontakan Semi pada tahun 1318, yang disusul dengan pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Semi dan Kuti adalah dua dari tujuh orang dharmaputera di kerajaan Majapahit, mereka itu juga binasa akibat fitnah Mahapati. Setelah terjadinya dua pemberontakan ini, rupa-rupanya raja baru sadar akan kekeliruannya untuk mempercayai Mahapati, maka atas perintahnya Mahapati ditangkap dan dibunuh.

Dalam peristiwa pemberontakan Kuti, muncullah seorang tokoh yang kemudian akan memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit, yaitu Gajah Mada. Pada waktu itu ia berkedudukan sebagai seorang anggota pasukan pengawal raja (bekel bhayangkari). Berkat siasat Gajah Mada dalam peristiwa di Bedander, raja dapat diselamatkan dan Kuti dapat dibunuh. Setelah amukti palapa selama dua bulan, sebagai anugerah raja, Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kahuripan, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi patih di Daha.
Pada masa pemerintahanan Jayanagara hubungan dengan Cina rupa-rupanya telah pulih kembali, utusan dari Cina datang setiap tahun mulai tahun 1325 sampai dengan 1328. Utusan yang datang pada tahun 1325 dipimpin oleh Seng-chia-liyeh, mungkin dapat diidentifikasikan sebagai Seng-ch'ia-lieh-yu-lan. Raja Jawa pada waktu itu disebutkan dengan nama Cha-ya-na-ko-nai, yang merupakan transliterasi Cina dari Jayanagara.

Dalam tahun 1321 Odorico di Pordenone mengunjungi Jawa, ia menceritakan bahwa raja Jawa mempunyai tujuh orang raja takluk, istananya penuh dengan perhiasan emas, perak dan permata. Khan yang agung dari Cathay sering bermusuhan dengan raja Jawa, tetapi selalu dapat dikalahkan oleh raja Jawa. Pulau Jawa amat padat penduduknya dan menghasilkan rempah-rempah.

Dari masa pemerintahan raja Jayanagara hanya dikenal tiga buah prasasti yang dikeluarkan olehnya, yaitu prasasti Tuhanaru, prasasti Balambangan dan prasasti Balitar I. Prasasti Tuhanaru yang berangka tahun 1245 Saka (13 Desember 1323) berisi penetapan kembali desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra atas permohonan Dyah Makaradhwaja. Permohonan itu dikabulkan oleh raja karena Dyah Makaradhwaja telah menunjukkan kesetiaan dan kebaktiannya kepada raja, mempertaruhkan jiwanya demi teguhnya kedudukan raja di atas singhasana memerintah seluruh mandala pulau Jawa. Karena kesetiaannya itu Dyah Makaradhwaja dianggap sebagai anak oleh raja.

Prasasti Balambangan yang hanya tinggal satu lempeng, memperingati penetapan daerah Balambangan sebagai daerah pendidikan, karena para rama daerah Balambangan telah menunjukkan kebaktiannya kepada raja dan membantu tegaknya kedudukan raja di atas singgasana, menghancurkan kejahatan di dunia, dan menghapuskan jaman kaliyuga. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan selesainya penumpasan pemberontakan Nambi.

Prasasti Balitar I dipahatkan pada sebuah batu, dan ditemukan di daerah Blitar, prasasti ini sudah sangat usang sehingga sulit dibaca, angka tahunnya ialah 1246 Saka (5 Agustus 1324) dan menyebutkan gelar abhiseka Jayanagara sebagai Sri Sundarapandyadewa nama maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa ....

Pada tahun 1328 raja Jayanagara meninggal karena dibunuh oleh Tanca, seorang dharmaputera yang bertindak sebagai tabib, peristiwa pembunuhan ini dalam kitab Pararaton disebut dengan patanca. Tanca seketika itu juga dibunuh oleh Gajah Mada.

Raja Jayanagara dicandikan di dalam Pura, di Sila Petak dan Bubat, ketiganya dengan arca Wisnu, dan di Sukhalila dengan Amoghasiddhi.

Gambar Belangkas