Bhre Wijaya sangat taat kepada Sri Kertanegara, itulah sebabnya beliau tetap bertahan di
Rabut Carat. Tetapi akhirnya beliau harus mundur ke Utara desa
Pamwatan Apajeg, di seberang Utara sungai. Pasukan beliau pada waktu itu berkekuatan kira-kira enam ratus orang banyaknya. Keesokan harinya datanglah musung mengejar Wijaya, beliau berbalik menghadapi musuh yang datang. Tetapi jumlah pasukan Wijaya makin sedikit, banyak yang lari menyelamatkan diri dan meninggalkan beliau. Takutlah Wijaya kalau-kalau sampai kehabisan anak buah, lalu berunding dengan para pengikutnya. Wijaya bermaksud hendak pergi ke
Terung, berbicara dengan akuwu di Terung yang bernama Rakryan Wuru Agraja (yang diangkat sebagai akuwu oleh Raja Kertanegara) sekaligus meminta bala bantuan dengan mengerahkan rakyat sebelah Timur dan Timur Laut Terung. Bersuka citalah pengikut-pengikut Wijaya mendengar keputusan tersebut.
Pada malam hari bergeraklah Wijaya hendak melalui Kulawan karena takut dikejar musuh yang amat banyak jumlahnya itu. Setibanya di Kulawan bertemu dengan musuh, sehingga harus mengungsi ke daerah Kembang Sri. Tetapi begitu sampai di Kembang Sri, Wijaya bertemu musuh kembali dan harus lari ke Utara menyeberangi sungai dengan segenap pasukannya yang masih tertinggal. Banyak anggota pasukan Wijaya yang gugur, yang masih hidup lari tercerai berai tidak diketahui kemana tujuannya, akhirnya tinggal dua belas orang saja yang melindungi Wijaya.
Waktu fajar menyingsing, Wijaya sampailah di desa Kudadu dalam keadaan lapar, lelah dan letih, sedih dan beriba hati, tiada harapan untuk hidup. Amat besarlah malapetaka dan kesedihan yang menimpa Wijaya. Tetapi begitu sampai di depan pejabat desa Kudadu, Wijaya diterima dengan sungguh-sungguh dan penuh hormat, terbukti dengan dikeluarkannya persembahan berupa makanan, minuman dan nasi. Lalu pejabat desa Kudadu itu menyembunyikan Wijaya sehingga tidak sampai dapat ditemukan oleh musuhnya. Akhirnya ditunjukkanlah jalan sampai batas daerah perdikan Rembang, Wijaya bermaksud hendak mengungsi ke Madura.
Prasasti lain yang juga menyinggung kisah pelarian Wijaya tetapi amat singkat adalah prasasti Sukamrta yang berangka tahun 1218 Saka (29 Oktober 1296). Prasasti ini memperingati penetapan daerah Sukamrta kembali menjadi daerah swatantra atas permohonan Panji Patipati Pu Kapat, yang hendak menirukan perbuatan ayahnya Panji Patipati (sr.). Permohonan ini dikabulkan oleh raja Kertarajasa Jayawarddhana karena Panji Patipati Pu Kapat telah memperlihatkan kesetiaan dan kebaktiannya yang luar biasa kepada raja, dengan ikut mengalami duka nestapa. Pada waktu raja Kertanegara meninggal ia masih muda belia. Pada waktu itu ia harus mengungsi, melarikan diri dari kejaran musuh, masuk hutan, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan laut. Panji Patipati tidak berpisah dari sisi Wijaya, menjalankan segala perintah, di kala hujan membawakan payung, di kala gelap membawakan obor. Dan pada waktu Wijaya menyerang negeri penjahat yang telah menghianati raja Kertanegara, Panji Patipati ikut pula di dalamnya.
Itulah sepenggal kisah tersesatnya Wijaya sampai ke desa Kudadu seperti yang terdapat pada bagian sambandha prasasti Kudadu.
Di dalam prasasti Sukamrta itu disebutkan juga bahwa Wijaya menyeberangi lautan, tentunya yang dimaksud di situ adalah kepergiannya ke Madura seperti disebutkan dalam piagam Kudadu. Di Madura, Wijaya diterima oleh Aryya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Wijata dapat diterima menyerahkan diri kepada Jayakatwang di Kadiri. Wijaya akhirnya mendapat kepercayaan penuh dari raja Jayakatwang, sehingga permintaan Wijaya untuk membuka daerah hutan Terik dengan alasan akan dijadikan pertahanan terdepan dalam menghadapi musuh yang menyerang melalui sungai Brantas inipun akhirnya dikabulkan oleh Jayakatwang. Daerah Terik dibuka oleh Wijaya dengan bantuan dari Wiraraja menjadi sebuah desa kecil dengan nama Majapahit. Di Majapahit yang baru dibuka ini Wijaya berusaha untuk mengambil hati para penduduknya, terutama orang-orang yang datang dari Tumapel dan Daha.