Sepeninggal Dyah Suraprabhawa, kedudukannya sebagai raja
Majapahit digantikan oleh anaknya
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, yang sebelum menduduki tahta
Majapahit beliau berkedudukan sebagai
Bhattara i Kling (Raja bawahan di Keling). Pada masa pemerintahannya beliau tidak berkedudukan di
Majapahit, melainkan tetap di Keling, oleh karenanya dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkannya beliau disebutkan sebagai
Paduka Sri Maharaja Bhattara i Kling disamping sebagai
Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunata.
Pada awal pemerintahannya, Ranawijaya didampingi oleh seorang rakryan apatih yang bernama Pu Wahan (lihat : OJO XCI, baris kedua), sedang pada akhir masa pemerintahannya ia didampingi oleh seorang rakryan apatih yang bernama Udara. Dari Babad Tanah Jawi diperoleh keterangan bahwa patih Udara ini adalah anak dari patih Pu Wahan, yang semula ia berkedudukan sebagai adipati di Kadiri (lihat : W.L. Olthof, Babad Tanah Jawi, 1941, teks bahasa Jawa, hal. 17-18). Suma Oriental, Tome Pires (Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires I, 1944, hal. 175 -176) menyebutkan patih Udara ini dengan nama Pate Udra atau Pate Andura (Pate Amdura). M.C. Ricklefs, menghubungkan Pate Andura atau Pate Amdura ini dengan tokoh yang bernama Arta Dirya, yang disebutkan dalam Babad ing Sengkala sebagai raja yang pernah memerintah pada tahun Saka 1403-1407 / 1481 M - 1486 M (lihat : M.C. Ricklefs, Modern Javanese Historical Tradition : A Story of an Original Kartasura Chronicle and Related Materials, London, 1978, hal. 159).
Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya berusaha pula untuk mempersatukan kembali wilayah kerajaan
Majapahit yang telah terpecah-pecah akibat pertentangan keluarga memperebutkan kekuasaan di
Majapahit. Untuk melaksanakan cita-citanya tersebut, maka pada tahun Saka 1400 (1478 M) ia melancarkan peperangan terhadap
Bhre Kertabhumi yang pada waktu itu berkedudukan di
Majapahit. Sebagaimana telah diketahui bahwa Bhre Kertabhumi ini telah merebut tahta kerajaan
Majapahit dari tangan Bhre Pandan Salas (ayah Ranawijaya) pada tahun 1468 M. Oleh karenanya, tindakan Ranawijaya menyerang Bhre Kertabhumi ini pada dasarnya merupakan
revanche (tindakan balasan) atas perbuatan Bhre Kertabhumi tersebut. Dalam peperangan tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan
Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi, dan Bhre Kertabhumi gugur di kadaton. Peristiwa gugurnya Bhre Kertabhumi ini disebutkan pula di dalam Kitab Pararaton ("
.... bhre Kertabhumi ..... bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka sunyanora-yuganing-wong, 1400"
, Pararaton, hal 40. Lihat pula : Hasan Djafar, Girindrawardhana, 1978, hal. 50). Dari uraian kitab Pararaton inilah kemudian muncul candrasengkala '
Sirna ilang kertining bhumi' , oleh karenanya candrasengkala tersebut pada dasarnya adalah merupakan peringatan tentang peristiwa
gugurnya Bhre Kertabhumi di kadaton akibat serangan dari Dyah Ranawijaya dan
bukan candrasengakala untuk memperingati keruntuhan
Majapahit akibat serangan kerajaan Islam Demak.
Peristiwa serangan Ranawijaya terhadap Bhre Kertabhumi ini disebutkan di dalam prasasti
Jiwu I yang dikeluarkan oleh Ranawijaya pada tahun 1486 M. Prasasti tersebut dikeluarkan sehubungan dengan pengukuhan anugerah tanah-tanah di Trailokyapuri kepada seorang brahmana terkemuka
Sri Brahmaraja Ganggadhara yang telah berjasa kepada raja (Ranawijaya) sewaktu perang melawan
Majapahit (Bhre Kertabhumi) sebagai ternyata dalam kalimat
"duk ayunayunan yuddha lawaning Majapahit".
Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1486 M, diketahui adanya upacara
sraddha untuk memperingati dua belas tahun meninggalnya
Paduka Bhattara ring Dahanapura. Tokoh Bhattara ring Dahanapura ini dapat diidentifikasikan sebagai
Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana (Lihat : Martha A Muuses
"Singhawikramawarddhana", FBG, II, 1929, hal 207-214, lihat pula Zoetmulder ,P.J "Djaman Empu Tanakung", Laporan KIPN-II, VI, Seksi D, 1965, hal.207), yang telah meninggalkan istana
Majapahit pada tahun 1468 M akibat serangan dari
Bhre Kertabhumi.