Wednesday, May 11, 2011

KARYA SASTRA JAMAN MAJAPAHIT

Tidak banyak kita jumpai karya sastra pada jaman kerajaan Majapahit ini, selain kakawin Negarakertagama gubahan Mpu Prapanca,  masih terdapat beberapa kakawin lainnya gubahan Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, yaitu Arjuna Wijaya dan Sutasoma, Puruda Santa (Mpu Tantular) serta Wretta Sancaya dan Siwaratrikalpa atau Lubdhaka (Mpu Tanakung), yang digubah pada masa kejayaan Majapahit.
 
Kakawin Arjuna Wijaya menguraikan peperangan antara Prabhu Arjuna Sahasrabhahu dan pendeta Parasu Rama, berdasarkan Uttara Kanda, bagian terakhir Ramayana (Sansekerta). Cerita ini sangat populer terbukti dari adanya pelbagai naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuna. Versinya dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk tembang diusahakan oleh Raden Ngabehi Sindusastra dari Surakarta, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1930.  Cerita ini dikenal dengan Lampahan Arjuna Sasrabahu, banyak dipertunjukkan dalam seni panggung wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang. Naskah ini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dibahas dan diterbitkan sebagai bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia oleh Dr. Supomo pada tahun 1971.

Karya Mpu Tantular yang kedua adalah Sutasoma, Purusada Santa, sebuah cerita moralistik dan didaktik Budha tentang pahlawan Sutasoma yang menyerahkan hidupnya dengan sukarela sebagai mangsa kepada raksasa Kalmasa Pada. Raksasa Kalmasa Pada kagun akan kerelaan itu, dan tidak jadi memakannya, bahkan malah bertobat dan memeluk agama Budha. Sutasoma adalah Bodhisattwa. Naskah Sutasoma Purusada Santa ini banyak menarik perhatian para sarjana, diantaranya Prof. J. Ensink, dalam tahun enampuluhan ia datang ke Indonesia untuk mengadakan penelitian tentang Sutasoma di pulau Bali, hasilnya adalah sebuah tulisan yang berjudul On the Old Javanese Cantakaparwa and its tale of Sutasoma, VKI, 54, 1967. Teks Sutasoma ini juga dijadikan bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia, oleh Dr. Suwito Santosa pada tahun 1969.

Wretta Sancaya atau disebut juga Cakrawala Duta pada hakekatnya adalah karya pengetahuan tentang matra kakawin India, yang banyak dipinjam dalam kesusasteraan Jawa Kuna, tetapi diberi bentuk cerita romantis tentang seorang gadis yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Gadis itu memeinta bantuan kepada burung cakrawala atau meliwis untuk mencarikan kekasihnya tersebut. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh Prof. H. Kern dengan judul Wretta-sancaya, Oud Javaansch leerdicht over versbouw, Leiden, 1875.

Sriwaratrikalpa atau Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang pada suatu malam menaburkan daun maja (wilwa) di atas lingga Dewa Siwa, yang ada di bawah pohon maja. Sebagai tanda terima kasih, Dewa Siwa mengijinkan pemburu itu masuk ke dalam taman surga. Cerita Lubdhaka adalah saduran dari mithologi India yang bertalian dengan upacara keagamaan Shiwaratri. Mungkin pada jaman Majapahit Shiwaratri itu juga dirayakan. Naskah ini telah diterbitkan oleh Prof. A. Teeuw di bawah judul Sriwaratrikalpa dalam seri Bibliotheca Indonesica no. 3 tahun 1969. Karya lainnya dari Mpu Tanakung adalah Pati Brata atau Uddalaka, karya ini belum pernah diterbitkan.

TEMUAN-TEMUAN MAJAPAHIT TERBARU

Berikut ini akan diuraikan beberapa temuan peninggalan kerajaan Majapahit terbaru yang diketemukan periode tahun 2010 s/d April 2011, setidaknya ada empat penemuan yang cukup berarti, yaitu :

Temuan candi baru di wilayah Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, untuk beritanya silahkan anda baca di sini


Temuan berikutnya adalah berupa Prasasti jaman Majapahit yang diketemukan di daerah Blitar, Jawa Timur, beritanya silahkan baca di sini


Temuan kolam pemandian raja-raja Majapahit, di daerah Nglinguk,  Desa/Kecamatan Trowulan, Mojokerto, beritanya silahkan baca di sini atau disini


Temuan prasasti Butulan, yang diketemukan di daerah Gresik, Jawa Timur, tepatnya di dinding goa butulan Desa Gosari, Ujung Pangkah, beritanya silahkan baca di sini


IKON KOTA RAJA MAJAPAHIT

Sebelum manusia lahir di muka bumi, alam semesta didiami oleh dewa-dewa yang tinggal di atas kahyangan, sedangkan daitya-daitya tinggal di bawah mewakili keburukan. Para dewa dan daitya selalu saja bertengkar.

Pada suatu ketika, para dewa mencari air kehidupan atau amerta. Sayangnya air kehidupan itu tersembunyi di dasar laut dan dijaga oleh sejumlah naga. Dewa Brahma memanggil para dewa di puncak Gunung Mahameru untuk ditugaskan mengaduk laut supaya dari pusatnya keluarlah amerta. Para daitya pun dilibatkan dalam proyek tersebut.

Konon, sebagai alat pengaduknya adalah Gunung Mandara yang diangkut para dewa ke tepi laut. Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura yang sangat besar untuk alas Gunung Mandara, sedangkan Dewa Wasuki menjelma menjadi ular besar untuk membelit gunung itu. Kepala ular ditarik para daitya, sedangkan ekornya ditarik para dewa, maka berputarlah Gunung Mandara mengaduk air laut.
Singkat cerita, keluarlah Dewa Dhanwantari, tabib kahyangan dari dalam laut. Di tangannya ia membawa guci yang berisi amerta, air dambaan para dewa.
Inilah ringkasan kisah Amertamanthana yang dipetik dari Kitab Mahabharata dari India. Amertamanthana menceritakan terjadinya dunia ini melalui pengadukan laut susu untuk mendapatkan amerta, air kehidupan. 

Ikon kota raja Majapahit
Naga atau ular besar merupakan ikon yang sangat penting untuk menggambarkan mitologi alam semesta. Pada masa Jawa Kuno, pahatan naga sering terpahat pada tubuh yoni, miniatur bangunan candi, relief candi, dan pada bangunan candi itu sendiri. Naga yang dipahatkan itu tidak melulu tentang Amertamanthana, melainkan juga ada yang berkaitan dengan masalah kesuburan dan kepercayaan lainnya.

Naga sebagai ikon kota kuno dapat dilihat pada situs kota Angkor di Kamboja. Tata letak kota itu benar-benar replika penciptaan dunia dengan cara pengadukan laut susu. Sebelum memasuki kota Angkor terdapat tanggul Angkor Thom. Di kanan kiri jalan-tanggul terdapat 54 raksasa yang memegang seekor naga dan posisi mereka membelakangi kota. Ketika masuk kota, yang di sebelah kiri adalah dewa-dewa kahyangan, dan di sebelah kanan dewa-dewa dunia-dunia bawah tanah. Di tengah kota terdapat Candi Bayon sebagai gunung suci dengan pintu-pintu simetris yang berlawanan arah, timur-barat dan utara-selatan. Dewa kahyangan dari pintu selatan tampak menarik naga yang melingkar-lingkar secara simbolis di sekeliling Candi (Gunung) Bayon, untuk ditangkap pada bagian ujungnya oleh dewa-dewa neraka dari dunia-dunia bawah tanah yang terdapat di pintu utara. Demikian pula halnya antara pintu barat dan timur. Dewa-dewa itu menarik secara bergantian, membuat Candi Bayon seperti berputar pada porosnya, simbol kegiatan mengaduk lautan kosmik, yang digambarkan dalam bentuk parit-parit air.

Blur Building, Uniknya Awan Buatan

'Blur Building' adalah sebuah karya arsitektur yang dirancang untuk Swiss Expo 2002. Struktur seluas 90x60 meter ini dibangun di atas danau Neuchatel, Yverdon-les-Bains, Swiss.

Air dari danau akan dipompa ke dalam struktur bangunan, disaring dan disemprotkan ke udara sehingga menghasilkan kabut. Pengunjung yang memasuki bangunan ini akan merasakan seolah-olah masuk ke dalam gumpalan

Benarkah Bentuk Semesta Seperti Terompet yang Akan Ditiup Sebagai Sangkakala Saat Kiamat?

“Sebelum kiamat datang, apa yang sekarang dilakukan oleh malaikat Isrofil?” Mungkin yang ada di benak kita malaikat Isrofil itu seperti sesosok seniman yang asyik mengelap terompet kecilnya sebelum tampil diatas panggung.

Sebenarnya seperti apa sih terompetnya atau yang biasa juga dikenal dengan sangkakala malaikat Isrofil itu?

Sekitar enam tahun silam sekelompok ilmuwan yang

Khameh (Khamis) Malam Jumaat...

Haa....kome jangan ingat yang bukan2.....
ni ha....awok nak tanye...
pasei (pasal) ape le kalo Khameh Malam Jumaat je...
tibi tunjok ceghite (cerita) hantu????

sape le ngajo (ajar) oghang (orang) Melayu.....
kalo Khameh malam Jumaat je...
malam hantu/setan banyak keluo???....
cehhhh....

Oghang (orang) Melayu macam biase le....
bende kalo dah jadi tughun temughun (turun temurun)....
bersaghang (bersarang) dalam otak dan minda....
memang payah ndak dibuang.....

ditughunkan (diturunkan) pulak pade anak cucu cicit....
kome2 yang mude lagi ni...
jangan diteghuihkan (diteruskan) kepercayaan yang macam ni...
jangan diajo (diajar) anak2 cucu cicit kome takot dengan hantu/setan....

P/S: lagi satu...asei (asal) Khameh malam Jumaat jugak le oghang (orang) ingat...ehem...ehem.....chait....

MAJAPAHIT : GAJAH MADA (2)

Memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta

Pada tahun 1329, Patih Majapahit pada waktu itu Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Gajah Mada yang pada waktu itu menjabat Patih Kadiri sebagai penggantinya, namun Gajah Mada sendiri tidak langsung menyetujuinya. Ia ingin membuat jasa terhadap Majapahit terlebih dahulu, dengan jalan menundukkan Sadeng dan Keta yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Alkisah, Sadeng dan Keta akhirnya tunduk di bawah kaki Majapahit, dan Gajah Mada pun resmi diangkat sebagai Mahapatih Majapahit oleh Tribhuwanottunggadewi pada tahun 1334.

Pada acara pelantikannya, dengan menghunus keris pusakanya (Surya Panuluh, yang sebelumnya adalah milik Kertarajasa Jayawardhana), Gajah Mada pun mengangkat Sumpah bakti terhadap Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapa  yang pada dasarnya adalah pernyataan program politik Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara di bawah telapak kaki Majapahit.


Sumpah Palapa ini sangat menggemparkan para undangan yang hadir saat pelantikan Gajah Mada tersebut. Adalah Ra Kembar yang mengejek Gajah Mada, Jabung Trewes dan Lembu Peteng tertawa terpingkal-pingkal mendengar sumpah tersebut. Gajah Mada merasa terhina oleh mereka, karena sumpah tersebut diucapkannya dengan kesungguhan hatinya. Maka ia pun turun dari mimbar (paseban), menghadap kaki Ratu dan menyatakan kesedihannya atas penghinaan tersebut. Akhirnya setelah Gajah Mada resmi diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, iapun kemudian satu-persatu menyingkirkan Ra Kembar, sekaligus membalaskan dendamnya karema Ra Kembar telah mendahuluinya menyerbu Sadeng. Berikutnya Jabung Trewes dan Lembu Peteng, serta Warak ikut pula disingkirkannya.

Program politik Gajah Mada ini berbeda dengan program politik pendahulunya yaitu Kertarajasa dan Jayanegara. Kedua raja terdahulu ini memilih Mahapatih Majapahit dari orang-orang terdekat di sekitarnya, yang dianggap telah berjasa kepadanya, akibatnya pada masa pemerintahan kedua raja terdahulu itu, mereka hanya sibuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit, tanpa dapat memperhatikan atau menjalankan perluasan wilayah kerajaan Majapahit.

Politik penyatuan Nusantara ini dibuktikan dengan sungguh-sungguh oleh Gajah Mada dengan memperkuat armada dan pasukan Majapahit serta dibantu oleh Adityawarman, melaksanakan politik ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke tanah seberang. Atas jasa-jasanya tersebut, Adityawarman kemudian diangkat menjadi raja di tanah Melayu pada tahun 1347, untuk menanamkan pengaruh atau kekuasaan Majapahit di wilayah Sumatera sampai ke Semenanjung Tanah Melayu.

Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Majapahit di bawah perjuangan Gajah Mada pada waktu itu adalah : Bedahulu (Bali) dan Lombok pada tahun 1343, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatera), Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya dan sejumlah negeri lain di Kalimantan seperi Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei (Pu-ni), Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei dan Malano.

Politik penyatuan Nusantara ini berbuah meredanya pertumpahan darah antar kerajaan-kerajaan tersebut yang semula selalu saling mengintai dan berupaya saling menguasai melalui jalan peperangan, yang tentunya menimbulkan banyak korban, terutama rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Dengan penyatuan di bawah telapak kaki Majapahit (yang ber-semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dan Mitreka Satata), terbukti berhasil menekan peperangan sehingga membuat kerajaan-kerajaan bawahan tersebut lebih menaruh perhatian kepada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara menyeluruh. Selain itu, dengan politik penyatuan Nusantara ini, membuat Majapahit menjadi lebih kuat terutama dalam menghadapi ancaman penjajah asing pada waktu itu (Tartar/Tiongkok), sehingga dapat menggantinya menjadi hubungan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Selanjutnya silahkan membaca bagian ketiga 

Gambar Belangkas