Monday, May 9, 2011

SANG PANCA WILWATIKTA

Majapahit dengan sumber sejarahnya yang berupa kitab Negarakertagama  di dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa Sang Panca Wilwatikta mempunyai hubungan yang rapat dengan Istana (Majapahit). Dalam pupuh itu dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan Sang Panca Wilwatikta adalah lima orang pembesar dalam pemerintahan Majapahit  adalah Patih, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Kelima pembesar tersebut diserahi pelaksanaan pemerintahan Majapahit, menjadi pembantu utama Sang Prabu dalam urusan pemerintahan.

Diantara lima pembesar tersebut Patih adalah merupakan jabatan yang tertinggi, Negarakertagama pupuh X/2 menyebutnya amatya ring sanagara yang artinya patih seluruh negara. Sebutan ini hanya diperuntukkan bagi Patih Majapahit untuk membedakannya dengan patih-patih di negara bawahan, seperti Daha, Kahuripan, Wngker, Matahun dan sebagainya.

Dalam pupuh tersebut juga disinggung bahwa patih negara bawahan dan para pembesar lainnya seperti Demung berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada, jadi dengan demikian seluk beluk pemerintahan seluruh negara Majapahit ditentukan oleh Maha Patih Majapahit. Para patih dan pembesar negara bawahan menerima perintah dari Patih Majapahit dan memberikan laporan tentang keadaan negara-negara bawahan kepada sang patih. Demikianlah patih negara bawahan biasa disebut dengan patih saja, ia melaksanakan pemerintahan di negara bawahan, sedangkan patih seluruh negara memberikan perintah dan arahan tentang bagaimana menjalankan pemerintahan di negara bawahan atau di daerah. Dalam kitab Pararaton, patih seluruh negara itu disebut dengan istilah Patih Amangkubhumi, istilah ini tidak terdapat di dalam Negarakertagama.

Read more: DI SINI

PEREBUTAN KEKUASAAN SETELAH HAYAM WURUK WAFAT (2)

Pada awal masa pemerintahannya (Bhre Tumapel) pada tahun 1447 ia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu berkenaan dengan pengukuhan perdikan dharma (dharma sima) Rajasakusumapura di Waringinpitu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh neneknya Sri Rajasaduhiteswari Dyah Nrttaja untuk memuliakan Sri Paduka Parameswara Sang mokta ring Sunyalaya. Di dalam prasastinya ia disebut bergelar Wijayaparakramawarddhana. Ia tidak lama memerintah, pada tahun 1451 ia meninggal dan didharmakan di Krtawijayapura.

Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikan menjadi raja dengan bergelar Sri Rajasawarddhana, ia dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara. Asal usulnya tidak jelas diketahui, namun dalam prasasti Waringin Pitu diketahui bahwa Rajasawarddhana disebutkan pada urutan ke tiga setelah reja, dan pada tahun 1447 ketika prasasti itu dikeluarkan oleh Kertawijaya, ia berkedudukan sebagai Bhatara ring Kahuripan. Dari kenyataan ini tidak disangsikan lagi bahwa pada masa pemerintahan Kertawijaya, Rajasawarddhana telah memiliki kedudukan yang tinggi dan penting di kerajaan Majapahit.

Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa pada waktu menjadi raja, Rajasawarddhana berkedudukan di Keling-Kahuripan, dengan demikian ia tidak berkedudukan di ibu-kota Majapahit, melainkan telah memindahkan pusat pemerintahannya di Keling-Kahuripan. Hal ini mungkin pula disebabkan karena keadaan politik di Majapahit masih tetap memburuk akibat pertentangan keluarga yang belum juga mereda. Ia memerintah hampir tiga tahun lamanya, dan pada tahun 1453 ia meninggal dan didharmakan di Sepang

Menurut kitab Pararaton, sepeninggal Rajasawarddhana selama tiga tahun (1453-1456) Majapahit mengalami kekosongan tanpa raja (interregnum). Sebab-sebab terjadinya kekosongan ini tidak dapat diketahui secara pasti, dugaan kuat hal ini disebabkan karena masih berkecamuknya pertentangan memperebutkan kekuasaan di antara keluarga raja-raja Majapahit. Pertentangan keluarga yang berlangsung berlarut-larut ini rupa-rupanya telah melemahkan kedudukan raja-raja Majapahit baik di pusat maupun di daerah, hasilnya sepeninggal Rajasawarddhana tidak ada seorangpun diantara keluarga raja-raja Majapahit yang sanggup tampil untuk segera memegang tampuk pemerintahan di Majapahit.

PEREBUTAN KEKUASAAN SETELAH HAYAM WURUK WAFAT (1)

Sepeninggal raja Hayam Wuruk, tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana (Bhra Hyang Wisesa) yang sebenarnya adalah menantu sekaligus keponakan dari raja Hayam Wuruk karena pernikahannya dengan puteri Hayam Wuruk yang bernama Kusumawardhani. Seharusnya yang menjadi raja menggantikan Hayam Wuruk adalah Kusumawardhani sendiri (selaku puteri mahkota yang lahir dari permaisuri Paduka Sori). Wikramawardhana sendiri adalah putera Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari, yaitu adik Hayam Wuruk yang menikah dengan Bhre Paguhan, Singhawarddhana.

Wikramawarddhana mulai memerintah Majapahit dari tahun 1389 selama dua belas tahun, dan pada tahun 1400 ia mengundurkan diri dari pemerintahan, menjadi seorang pendeta (bhagawan), dan mengangkat anaknya yang bernama Suhita (dalam Pararaton disebut dengan Sri Ratu Prabu-stri, dan ada juga yang menyebut Kencono Wungu). Suhita adalah anak kedua dari Wikramawarddhana, anak pertamanya adalah Bhre Tumapel yang meninggal pada tahun 1399 sebelum dinobatkan menjadi raja.

Duduknya Suhita di atas tahta kerajaan Majapahit ini ternyata menimbulkan pangkal kericuhan di Majapahit, yaitu timbulnya perseteruan keluarga antara Wikramawaddhana dengan Bhre Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari isteri selir, sehingga tidak berhak atas tahta Majapahit dan telah diberi kewenangan atas bumi Blambangan). Bhre Wirabhumi tidak setuju atas pengangkatan Suhita menjadi raja Majapahit, dan sejak tahun 1401 timbullah persengketaan yang setelah tiga tahun semakin memuncak menjadi suatu huru-hara yang dikenal dengan peristiwa paregreg. Kedua belah pihak mengumpulkan orang-orangnya, menghimpun kekuatan dan akhirnya terjadilah perang saudara.

Dalam peperangn tersebut mula-mula Wikramawarddhana dari kadaton kulon menderita kekalahan, akan tetapi kemudian setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel (Bhra Hyang Parameswara) ia akhirnya dapat mengalahkan Bhre Wirabhumi dari kadaton wetan. Bhre Wirabhumi kemudian melarikan diri naik perahu, ia dikejar oleh Raden Gajah (di dalam Pararaton tokoh ini berkedudukan sebagai Ratu Angabdhaya dan bergelar Bhra Narapati) dan tertangkap, kemudian dibunuh dan dipenggal kepalanya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1406.

Peperangan antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi ini disebutkan pula di dalam berita Cina yang berasal dari jaman dinasti Ming (1368-1643). Di dalam buku sejarah Dinasti Ming (Ming Shih) jilid ke 324, disebutkan bahwa setelah kaisar Ch'eng-tsu naik tahta pada tahun 1403, ia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa (Majapahit), ia mengirimkan utusan-utusannya kepada raja 'bagian-Barat' Tu-ma-pan dan raja 'bagian Timur' Put-ling-ta-ha (Pi-ling-da-ha). Pada tahun 1405 Laksamana Cheng-Ho memimpin sebuah armada perutusan ke Jawa, dan pada tahun berikutnya ia menyaksikan kedua raja Majapahit tersebut saling berperang. Kerajaan bagian Timur disebutkan menderita kekalahan dan kerajaannya dirusak. Berita Cina tersebut mengemukakan pula bahwa pada waktu terjadi perang antara kedua raja tersebut perutusan Cina sedang berada di kerajaan bagian Timur, bahkan serangan tentara kerajaan bagian Barat itu telah menyebabkan ikut terbunuhnya 170 orang Cina.

Walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal, peristiwa pertentangan keluarga itu belum reda juga, bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi benih balas dendam dan persengketaan keluarga itu menjadi semakin belarut-larut. Pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi.

Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1477, ia didharmakan di Singhajaya bersama-sama dengan suaminya Bhra Hyang Parameswara (Aji Ratnapangkaja) yang telah meninggal pada tahun 1446, karena Suhita tidak memiliki anak, maka sepeninggalnya tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh adiknya Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya.

Selanjutnya silahkan baca di perebutan kekuasaan (bagian kedua)

HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH (3)

Perluasan wilayah kekuasaan juga membawa dampak peningkatan hubungan dagang antara pusat dan daerah. Pelabuhan Tuban, Gresik dan Surabaya ramai dikunjungi pedagang dari daerah dan negara-negara asing tetangga. Ma Huan (Ying-yai Sheng-lan, dalam Groeneveldt, W.P, Notes on the Lalay Archipelago dan Malacca, compiled from Chinese sources, VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960, hal. 45-48) yang mengunjungi Majapahit pada tahun 1413 (setelah Majapahit mengalami kemunduran) menjelaskan bahwa pelabuhan-pelabuhan tersebut banyak didiami oleh pedagang Cina dan asli yang kaya-kaya. Segala macam barang dagangan banyak diperjual-belikan di situ. Mutu manikam dan barang-barang buatan luar negeri banyak diborong oleh pedagang asli dalam jumlah besar. Namun yang banyak disukai adalah barang pecah belah dari porselen Cina yang berbunga hijau, kain sutera dan lenan, baik polos maupun berbunga, dan minyak wangi. Rupanya pada waktu itu di antara pelbagai hasil bumi, beras merupakan bahan ekspor utama Majapahit, karena sudah sejak lama pulau Jawa terkenal sebagai daerah penghasil padi ; dua kali setahun panen padi. Mata uang tembaga Cina dari pelbagai dinasti laku di pelabuhan itu.
Kakawin Negarakertagama dalam pupuh LXXXIII/3 juga menjelaskan bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnataka (Mysore di India) datang ke Majapahit. Boleh dipastikan bahwa sebaliknya pedagang-pedagang Jawa berlayar ke tempat-tempat tersebut. Berkembangnya perdagangan membawa kemakmuran kepada negara dan peningkatan kesejahteraan di lingkungan rakyat. Berkat kunjungan pedagang-pedagang asing itu maka nama Majapahit yang biasa disebut dengan Jawa saja, menjadi mashur di luar negeri. Dengan agak berlebih-lebihan Prapanca mengatakan bahwa pada waktu itu Jawa dan Jambudwipa adalah negara utama di dunia. Pada hakekatnya ia ingin mengatakan bahwa dalam abad yang ke empatbelas, Majapahit merupakan kekuasaan besar di wilayah Asia. Berkembangnya hubungan dagang antara Majapahit dengan daerah-daerah di Nusantara ini dapat dipahami, karena hasil bumi dari daerah perlu dijual di pasaran, sedangkan pedagang asing yang memerlukannya kebanyakan berkunjung di pelabuhan Tuban, Gresik dan Surabaya, sehingga pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pusat perdagangan pada abad empatbelas.

Negarakertagama dalam pupuh XVI memberitakan bahwa pada musim-musim tertentu pemerintah pusat mengirimkan pegawai dan pendeta-pendeta ke daerah untuk menarik upeti. Ditegaskan bahwa disamping tugas utama itu para pendeta dianjurkan menyebarkan agama dan memberantas penyesatan. Para pendeta Budha hanya diijinkan menyiarkan agamanya di daerah sebelah Timur Jawa, sedangkan para pendeta Siwa boleh menjelajah segala pulau untuk menyiarkan agamanya tanpa mengenal pembatasan.

Foto di samping ini menunjukkan patung pendeta Siwa.


Dalam abad empat belas, agama dan sastera yang merupakan unsur pokok kebudayaan menjadi monopoli kaum pendeta. Dengan sendirinya kedatangan para pendeta di daerah-daerah itu berarti terjadi penyebaran kebudayaan Jawa di daerah Nusantara. Mungkin banyak pula diantara pendeta Jawa yang lalu menetap di daerah demi kepentingan agamanya. Tidaklah mengherankan bahwa nama Majapahit yang biasa disamakan dengan Jawa saja, terkenal di berbagai tempat di Nusantara dan pengaruh Jawa karenanya mulai berakar di daerah-daerah. Dongengan-dongengan setempat tentang pembesar daerah ke pusat kerajaan Majapahit untuk mempelajari adat-istiadat atau meminang puteri Majapahit tercatat dalam pelbagai hikayat daerah. Sebaliknya dongengan-dongengan tentang bangsawan-bangsawan Majapahit ke daerah, yang kemudian diangkat sebagai pembesar daerah setempat, terdapat pula dalam hikayat-hikayat daerah. Meskipun dalam hal ini terdapat anakhronisme, namun intinya menunjukkan persebaran pengaruh Jawa ke daerah-daerah Nusantara.

PUNAKAWAN, BUDAYA ASLI MAJAPAHIT (2)

Nama punakawan Punta, Prasanta dan Juru Deh hanya dikenal dalam kakawin (karya sastra) Ghatotkacasraya, nama punakawan itu dikenal kembali dalam seni panggung wayang gedog tentang cerita panji sebagai Jodeg Santa (kontaminasi dari Juru Deh dan Prasanta).
Dalam jaman Singosari-Majapahit nama punakawan tersebut tidak dikenal, yang muncul pada waktu itu adalah punakawan Semar seperti yang nyata-nyata muncul dalam hiasan/relief Candi Tigowangi (1358 M) dan Candi Sukuh (1439 M), dalam cerita Sudamala. Karya sastra Sudamala ini menceritakan peranan punakawan Semar secara lebih berkesan bila dibandingkan dengan tokoh Juru Deh, Prasanta dan Punta di atas. Dalam karya sastra Sudamala tersebut jelas sekali peranan Semar sebagai punakawan dan pelawak. Segala gerak-gerik dan ucapannya serba menggelikan. Relief/pahatan yang terdapat pada candi Tigawangi dan candi Sukuh juga menggambarkan hal yang serupa, yaitu ujud Semar yang lucu, serta tandang-tanduknya yang serba menggelikan. Diantaranya Semar memanjat di atas bangkai raksasa Kalanjaya, yang telah mati terbunuh oleh Sudamala.
 
Jelaslah dalam hal ini bahwa punakawan Semar yang tertua bertarikh pada jaman Majapahit yaitu disekitar tahun 1358 M (Candi Tigawangi), meskipun pada relief di candi tersebut terlihat beberapa punakawan yang lain, namun yang disebutkan dalam karya sastra Sudamala hanya seorang saja, yakni Semar.


Tokoh Semar pada relief candi Sukuh

Dalam seni panggung wayang pada jaman Surakarta dan Jogyakarta, jumlah punakawan bertambah menjadi tiga (versi Surakarta) dan menjadi empat (versi Jogyakarta) yaitu : Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka bertindak sebagai pelawak, yang disamping membadut, juga memberikan komentar tentang segala perkara yang timbul dari pikiran Si Dalang. Mereka tetap menjadi punakawan keluarga Pandawa, terutama sebagai punakawan Arjuna.

Semua tokoh punakawan memiliki bentuk tubuh yang agak istimewa, Semar digambarkan sebagai seorang yang tua, berkuncung putih, bermata rembes, berkaki pendek, berpantat besar, bentuknya seperti penyu atau kura-kura. Gareng tangannya ceko, kakinya pincang, matanya juling, hidungnya bulat seperti buah terong. Petruk hidungnya panjang, perutnya bekel, mulutnya selalu tertawa, berperawakan tinggi-kurus dan berkuncir. Bagong orangnya pendek, mulutnya lebar dan matanya sebesar terbang.

Sebagai imbangan diciptakan tokoh Togog dan Bilung, kedua-duanya sebagai pamong tokoh seberang lautan. Togog dan Bilung menjadi lambang kelemahan dan kekalahan, karena tiap tokoh yang diikutinya (dalam cerita) selalu dapat dikalahkan oleh tokoh Pandawa yang diikuti oleh Semar. Togog orangnya pendek, mulutnya lebar, bibirnya menjulur ke muka. Bilung orangnya pendek kecil, warna kulitnya hitam, kepalanya penuh kudis.

PUNAKAWAN, BUDAYA ASLI MAJAPAHIT

Ciri khusus kebudayaan Majapahit ialah adanya pembauran antara unsur-unsur Jawa asli dengan unsur-unsur India. Adanya unsur-unsur Jawa asli itu menyebabkan kebudayaan Majapahit  (Jawa Timur) bukan semata-mata tiruan kebudayaan India, meskipun harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan India masih terasa sangat kuat. Pembauran ini terbukti memberi sekedar kesegaran dalam kehidupan kebudayaan dan menimbulkan aliran baru yang disebut dengan aliran Singasari-Majapahit, karena aliran baru tersebut memang berkembang pada jaman kerajaan Singasari-Majapahit.

Timbulnya kesadaran untuk memasukkan unsur-unsur Jawa asli dalam kebudayaan telah terasa sejak jaman kerajaan Kadiri dalam abad ke duabelas, seperti terbukti dari karya Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh. Dalam karya sastra ini untuk pertama kalinya ditampilkan unsur Punakawan yaitu hamba, abdi dalam karya sastra yang berdasarkan cerita dari epik Mahabarata. Dalam Mahabarata unsur punakawan ini tidak dikenal sama sekali, oleh karenanya unsur punakawan adalah merupakan unsur Jawa asli.
Punakawan mengabdi kepada tokoh Pandawa yang memegang peranan utama dalam cerita Mahabarata tersebut. Dalam karya sastra Ghatotkacasraya punakawan ini berjumlah tiga orang, yakni : Punta, Prasanta  dan Juru-Deh. ; ketiga-tiganya mengabdi kepada Abimanyu, putera Arjuna yang memegang peranan utama dalam cerita. Tidak dapat diketahui secara pasti dari mana Mpu Panuluh memperoleh ilham untuk memasukkan punakawan dalam gubahan karya sastra Ghatotkacasraya yang artinya : bantuan Ghatotkaca. Ada kemungkinan bahwa punakawan ini telah memiliki peranan dalam seni panggung wayang, yang pada waktu itu masih berbentuk seni pertunjukkan lisan, tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang nyata.

Suatu kenyataan ialah, bahwa timbulnya unsur punakawan untuk pertama kalinya dalam kesusastraan adalah berkat karya Mpu Panuluh, namun dalam karya sastra tersebut punakawan masih kaku-beku, hanya merupakan embel-embel belaka, tokoh tanpa peranan alias figuran. Mungkin sekali sebabnya adalah Mpu Panuluh terlalu mengutamakan uraian tentang pemandangan alam dan menekankan peranan tokoh-tokoh penting atau central, sehingga lupa memberikan peranan yang berkesan kepada para punakawan ini.

Untuk selanjutnya silahkan menuju atau membaca bagian kedua.

Sunday, May 8, 2011

Sakit Mate...

Ghase (rasa) macam nak MC....
sakit beno ghase (rasa) mate awok ni.....
belah kanan yang palen (paling) teghok (teruk) ni....
kalo tengok keluo....
lagi le sakit....

tapi takde pulak keluo taik mate....
oghang (orang) kate kalo keluo (keluar) taik mate baghu (baru) betoi sakit mate....
tap awok takde pulak...
setakat mate meghah (merah).....
bijik mate sakit.jeee...

aduiileee....
kalo lepaih (lepas) ni takde entri baghu dari (baru dari) awok...
kome paham2 la ye....
awok MC....hehehehe

Gambar Belangkas