Perluasan wilayah kekuasaan juga membawa dampak peningkatan hubungan dagang antara pusat dan daerah. Pelabuhan Tuban, Gresik dan Surabaya ramai dikunjungi pedagang dari daerah dan negara-negara asing tetangga. Ma Huan (Ying-yai Sheng-lan, dalam Groeneveldt, W.P, Notes on the Lalay Archipelago dan Malacca, compiled from Chinese sources, VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960, hal. 45-48) yang mengunjungi Majapahit pada tahun 1413 (setelah Majapahit mengalami kemunduran) menjelaskan bahwa pelabuhan-pelabuhan tersebut banyak didiami oleh pedagang Cina dan asli yang kaya-kaya. Segala macam barang dagangan banyak diperjual-belikan di situ. Mutu manikam dan barang-barang buatan luar negeri banyak diborong oleh pedagang asli dalam jumlah besar. Namun yang banyak disukai adalah barang pecah belah dari porselen Cina yang berbunga hijau, kain sutera dan lenan, baik polos maupun berbunga, dan minyak wangi. Rupanya pada waktu itu di antara pelbagai hasil bumi, beras merupakan bahan ekspor utama Majapahit, karena sudah sejak lama pulau Jawa terkenal sebagai daerah penghasil padi ; dua kali setahun panen padi. Mata uang tembaga Cina dari pelbagai dinasti laku di pelabuhan itu.
Kakawin Negarakertagama dalam pupuh LXXXIII/3 juga menjelaskan bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnataka (Mysore di India) datang ke Majapahit. Boleh dipastikan bahwa sebaliknya pedagang-pedagang Jawa berlayar ke tempat-tempat tersebut. Berkembangnya perdagangan membawa kemakmuran kepada negara dan peningkatan kesejahteraan di lingkungan rakyat. Berkat kunjungan pedagang-pedagang asing itu maka nama Majapahit yang biasa disebut dengan Jawa saja, menjadi mashur di luar negeri. Dengan agak berlebih-lebihan Prapanca mengatakan bahwa pada waktu itu Jawa dan Jambudwipa adalah negara utama di dunia. Pada hakekatnya ia ingin mengatakan bahwa dalam abad yang ke empatbelas, Majapahit merupakan kekuasaan besar di wilayah Asia. Berkembangnya hubungan dagang antara Majapahit dengan daerah-daerah di Nusantara ini dapat dipahami, karena hasil bumi dari daerah perlu dijual di pasaran, sedangkan pedagang asing yang memerlukannya kebanyakan berkunjung di pelabuhan Tuban, Gresik dan Surabaya, sehingga pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pusat perdagangan pada abad empatbelas.
Negarakertagama dalam pupuh XVI memberitakan bahwa pada musim-musim tertentu pemerintah pusat mengirimkan pegawai dan pendeta-pendeta ke daerah untuk menarik upeti. Ditegaskan bahwa disamping tugas utama itu para pendeta dianjurkan menyebarkan agama dan memberantas penyesatan. Para pendeta Budha hanya diijinkan menyiarkan agamanya di daerah sebelah Timur Jawa, sedangkan para pendeta Siwa boleh menjelajah segala pulau untuk menyiarkan agamanya tanpa mengenal pembatasan.
Foto di samping ini menunjukkan patung pendeta Siwa.
Dalam abad empat belas, agama dan sastera yang merupakan unsur pokok kebudayaan menjadi monopoli kaum pendeta. Dengan sendirinya kedatangan para pendeta di daerah-daerah itu berarti terjadi penyebaran kebudayaan Jawa di daerah Nusantara. Mungkin banyak pula diantara pendeta Jawa yang lalu menetap di daerah demi kepentingan agamanya. Tidaklah mengherankan bahwa nama Majapahit yang biasa disamakan dengan Jawa saja, terkenal di berbagai tempat di Nusantara dan pengaruh Jawa karenanya mulai berakar di daerah-daerah. Dongengan-dongengan setempat tentang pembesar daerah ke pusat kerajaan Majapahit untuk mempelajari adat-istiadat atau meminang puteri Majapahit tercatat dalam pelbagai hikayat daerah. Sebaliknya dongengan-dongengan tentang bangsawan-bangsawan Majapahit ke daerah, yang kemudian diangkat sebagai pembesar daerah setempat, terdapat pula dalam hikayat-hikayat daerah. Meskipun dalam hal ini terdapat anakhronisme, namun intinya menunjukkan persebaran pengaruh Jawa ke daerah-daerah Nusantara.