Sunday, May 8, 2011

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (5)

Mengenai pulau-pulau di sebelah Timur Jawa, pertama-tama disebutkan pulau Bali yang telah ditundukkan pada tahun 1343, berikutnya pulau Lombok atau Gurun, yang dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukkan adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Majapahit atas Bali dan Lombok tidak diragukan lagi. Kota Dompo yang terletak di pulau Sumbawa, menurut Negarakertagama pupuh LXXII/3 dan kitab Pararaton telah ditundukkan oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Mpu Nala pada tahun 1357. Penemuan prasasti Jawa dari abad empat belas di pulau Sumbawa (G.P. Rouffaer, Notulen van de Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap, 1910, hal. 110-113 ; F.H van Naersen “Hindoe-Javaansche overblijfselen op Sumbawa” T.K.N.A.G, 1938, hal. 90), memperkuat pemberitaan Negarakertagama dan Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas pulau Sumbawa tak dapat disangsikan lagi. Prasasti tersebut adalah satu-satunya yang pernah diketemukan di kepulauan di luar Jawa. Rupanya Dompo dijadikan batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya di sebelah Timur sampai Wanin di pantai Barat Irian.

Berbeda dengan di Sumatera dan Kalimantan, di daerah sebelah Timur Jawa, kecuali di Bali dan Lombok, tidak ada hikayat-hikayat daerah, oleh karenanya juga tidak terdapat dongengan tertulis tentang hubungan Majapahit dengan daerah-daerah tersebut.

Daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai oleh Majapahit pada pertengahan abad keempatbelas sebagaimana yang diberitakan oleh Negarakertagama dalam pupuh XIII dan XIV adalah seperti berikut ini  :

  1. Di Sumatera : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung.
  2. Di Kalimantan (Tanjung Pura) : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu,  Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano.
  3. Di Semenanjung Tanah Melayu (Hujung Medini) : Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai (Kesah Raja Marong Mahawangsa, Penerbitan Pustaka Antara, Kuala Lumpur 1965, hal. 79. “Akan pulau Serai itu pun juga hampirlah sangat bertemu dengan tanah darat besar ; maka akhirnya itulah yang disebut orang Gunong Jerai karena ia tersangat tinggi”’ Lihat juga Paul Wheatly, The Golden Khersonese, hal. 261).
  4. Di sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Maluku, Wanin, Seran, Timor.

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (4)

Mengenai penundukan beberapa tempat di Tanjungpura atau Kalimantan terdapat pemberitaannya dalam Sejarah Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 112-113), yang kiranya patut dipercaya seperti berikut ini :
“Kaisar Cina mengeluarkan pengumuman tentang pengangkatan Hiawang sebagai raja Pu-Nie untuk menggantikan ayahnya. Hiawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun mempersembahkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa. Mereka mohon agar Kaisar suka mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti tersebut, agar upeti tersebut dapat di kirim ke istana Kaisar …”.

Pu-Nie biasa disamakan dengan Brunei, di bagian Kalimantan, dengan demikian jelaslah bahwa Brunei adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit pada pertengahan kedua abad empatbelas. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kakawin Negarakertagama dalam pupuh XIV/1 yang menyebut Barune.

Penyebutan Kutei, dibagian Timur Kalimantan, terdapat dalam pupuh XII/1 sebagai Tanjung Kutei. Hubungan antara Kutei dan Majapahit diberitakan dalam Silsilah Kutei (Silsilah Kutei diterbitkan oleh Dr. C.A. Mees sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Kutei, Santpoort, 1928), sebagai berikut  :
“Kemudian Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti berangkat ke Majapahit untuk mempelajari tatanegara Majapahit. Ikutlah bersama mereka ialah Maharaja Indra Mulia dari Mataram. Tersebut perkataan Maharaja Sultan dua bersaudara di Majapahit. Mereka diajarkan tata-cara di Keraton dan adat yang dipakai oleh segala menteri. Tidak beberapa lama merekapun kembali ke Kutei. Sebuah keraton yang menurut tata-cara Jawa pun di dirikan. Sebuah pintu gerbang yang dibawa pulang dari Majapahit dijadikan hiasan keraton ini …..”.
Dongengan tersebut jelas menunjukkan hubungan antara Kutei dan Majapahit yang mungkin sekali bertarikh dari pertengahan abad empat belas, di masa kejayaan Majapahit.

Hubungan Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan dengan Majapahit, diberitakan dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Hikayat Banjar dan Kota Waringin diterbutkan oleh Dr. A.A. Cense sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Bandjarmasin, Santpoort, 1928 ; dan oleh Dr. J.J. Ras di bawah judul Hikayat Banjar, The Haque, 1968), dalam bentuk perkawinan antara Puteri Junjun Buih, anak pungut Lembu Mangurat dan Raden Suryanata dari Majapahit seperti berikut : “Adapun raja Majapahit itu sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari ini, masih beroleh enam anak lainnya dan negeri pun terlalu makmur. Maka pada keesokan harinya Lembu Mangurat pun berangkat ke Majapahit dengan pengiring yang banyak sekali. Sesampainya di Majapahit, Lembu Mangurat diterima dengan baik. Permintaan Lembu Mangurat akan Raden Putra sebagai suami Puteri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lembu Mangurat ke negerinya, pesta besar-besaran disediakan untuk mengawinkan Puteri Junjung Buih dengan Raden Putera. Sebelum perkawinan dilangsungkan, suatu suara ghaib meminta Raden Putera menerima mahkota dari langit. Mahkota itulah yang akan meresmikan Raden Putera menjadi raja secara turun-temurun. Hanya keturunannya yang diridhai Allah yang boleh memakai mahkota itu. Maka pesta perkawinanpun berlangsunglah. Adapun nama Raden Putera yang sebenarnya adalah Raden Suryanata yang artinya Raja Matahari ..”.

Selanjutnya silahkan membaca bagian kelima

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (3)

Sejarah Melayu (Sejarah Melayu, edisi Shellabear, Kisah II) mencatat dongengan tentang kejayaan serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit berkat pembelotan seorang pegawai kerajaan yang bernama Rajuna Tapa. Konon sehabis peperangan, Rajuna Tapa kena umpat sebagai balasan pengkhianatannya dan berubah menjadi batu di sungai Singapura, rumahnya roboh dan beras simpanannya menjadi tanah. Dongengan tersebut mengingatkan kita kepada serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit pada sekitar tahun 1350, karena Tumasik termasuk ke dalam program politik Gajah Mada dan tercatat dalam daftar daerah bawahan Majapahit seperti diungkapkan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII.

Kerajaan Islam Samudra Pasai di Sumatera Utara juga tercatat sebagai daerah bawahan Majapahit. Dongengan romantis tentang serbuan Pasai oleh tentara Majapahit diberitakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (Hikayat Raja-Raja Pasai, 1819, disalin dengan huruf Romawi oleh J.P. Mead dalam JMBRAS no. 66; dibicarakan oleh J.L.A. Brandes dalam Pararaton, 1896 ; dibahas oleh R.O. Winstedt dalam karangan “The Chronicles of Pasai”, JMBRAS vol. XVI, 1938 ; oleh Dr. R. Roolvink dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai” di Majalah Bahasa dan Budaya, vol. II, no. 3, 1954 ; oleh Prof. A. Teeuw dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai”, di Malayan and Indonesian Studies, Oxford, 1964), berikut ini :
“Pada pemerintahan Sultan Ahmad di Pasai, puteri Gemerencang dari Majapahit jatuh cinta kepada Abdul Jalil, putera raja Ahmad, hanya karena melihat gambarnya. Oleh karena itu ia berangkat ke Pasai dengan membawa banyak kapal. Sebelum mendarat terdengar kabar bahwa Abdul Jalil telah mati, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Karena kecewa dan putus asa, puteri Gemerancang berdoa kepada Dewa, agar kapalnya tenggelam. Doa itu dikabulkan. Mendengar berita tersebut, Sang Nata Majapahit murka, lalu mengerahkan tentara untuk menyerang Pasai. Ketika tentara Majapahit menyerbu Pasai, Sultan Ahmad berhasil melarikan diri, namun Pasai dapat dikuasai dan diduduki”.

Seperti telah disinggung di atas, ekspedisi ke Sumatera ini mungkin sekali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, karena ada beberapa nama tempat di Sumatera Utara yang mengingatkan serbuan Pasai oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada, dan dongengannya memang ditafsirkan demikian oleh rakyat setempat (H.M. Zainuddin, Tarich Acheh dan Nusantara, Bab XVII, hal. 220-236). Tempat-tempat tersebut misalnya : sebuah bukit di dekat kota Langsa bernama Manjak Pahit (Majapahit). Menurut dongengan tentara Majapahit membuat benteng di atas bukit itu dalam persiapan menyerang Temiang. Berikutnya, rawa antara Perlak dan Peudadawa bernama Paya Gajah (Gajah Mada), karena menurut dongengan rawa itu dilalui oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada dalam perjalanan menuju Lhokseumawe dan Jambu Air, yang menjadi sasaran utama serangannya. Bukit Gajah yang terletak di pedalaman disebut demikian karena setelah mendarat, Gajah Mada beserta tentaranya langsung bergerak menuju bukit itu. Bukit di dekatnya bernama Meunta, perubahan dari nama Mada, karena di situlah tempat Gajah Mada membuat persiapan untuk menyerang Pasai. Demikianlah beberapa nama tempat-tempat di Sumatera Utara yang agak mirip dengan nama Gajah Mada dan Majapahit, oleh karena itu mengingatkan peristiwa sejarah di sekitar tahun 1350 yakni serbuan Pasai oleh tentara Majapahit.

Selanjutnya silahkan baca bagian keempat

PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (2)

Baru setelah Jawa Timur dikuasai penuh, Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yang disebut Nusantara. Menurut Pararaton, politik perluasan wilayah seluruh Nusantara ini bertalian dengan program politik Gajah Mada yang diangkat menjadi patih Amangkubumi pada sekitar tahun 1334. Untuk menjayakan program politiknya tersebut, para pembesar Majapahit yang tidak menyetujui disingkirkan oleh Gajah Mada. Pelaksanaan program politik penyatuan Nusantara ini rupanya baru dimulai pada tahun 1343 dengan penundukkan Bali, pulau yang paling dekat dengan pulau Jawa. Selanjutnya diantara tahun 1343 – 1347, Pu Adityawarman meninggalkan pulau Jawa untuk mendirikan kerajaan Malayapura di Minangkabau, Sumatera, seperti diberitakan dalam prasasti Sansekerta pada arca Amoghapasa tahun 1347. Dalam prasasti tersebut diuraikan bahwa Pu Adityawarman bergelar Tuhan Patih (gelar sebutan Tuhan Patih dalam prasasti Amoghapasa, 1347, menunjukkan bahwa Adityawarman menjalankan pemerintahan di kerajaan Malayapura atas nama raja Majapahit Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani).

Berita Cina dari Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 69) menyatakan bahwa pada tahun 1377 Suwarnabhumi (Sumatera) diserbu oleh tentara Jawa. Putera Mahkota Suwarnabhumi tidak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina, karena takut kepada raja Jawa. Kaisar Cina lalu mengirim utusan ke Suwarnabhumi untuk mengantarkan surat pengangkatan, namu di tengah jalan dicegat oleh tentara Jawa dan dibunuh seketika. Meskipun demikian Kaisar Cina tidak melakukan tindakan balasan terhadap raja Jawa, karena mengakui bahwa tindakan balasan tidak dapat dibenarkan. Sebab utama serbuan tentara Jawa (ke Suwarnabhumi) pada tahun 1377 tersebut adalah karena raja Suwarnabhumi telah mengirim utusan ke Cina pada tahun 1373 tanpa sepengetahuan raja Jawa.  Pengiriman utusan tersebut dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap status kerajaan Suwarnabhumi yang sebenarnya adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit. Tarikh penundukan Suwarnabhumi terhadap Majapahit terjadi pada sekitar tahun 1350 ; keruntuhannya mengakibatkan jatuhnya daerah-daerah bawahannya di Sumatera dan di semananjung Tanah Melayu ke dalam kekuasaan Majapahit. Dua belas kerajaan Suwarnabhumi yang jatuh ke tangan Majapahitadalah : Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Woloan, Cerating, Paka, Tembeling, Grahi, Palembang, Muara Kampe dan Lamuri. Hampir semua daerah-daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah-daerah bawahan Majapahit seperti ternyata dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII dan XIV. Daftar itu menyebut juga nama-nama daerah bawahan lainnya. Rupanya Palembang dijadikan batu loncatan bagi tentara Majapahit untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di sebelah Barat pulau Jawa. Namun di daerah–daerah ini tidak diketemukan prasasti sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah yang ditulis kemudian, menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam bentuk dongengan, dan bukan merupakan catatan sejarah khusus. Dongengan-dongengan tersebut menunjukkan sekedar kekaguman terhadap kebesaran dan keagungan Majapahit.

Selanjutnya silahkan membaca bagian ketiga

HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH (2)

Dari Patih perintah turun ke wedana, semacam pembesar distrik ; dari wedana turun ke akuwu (pembesar sekelompok desa), semacam camat jaman sekarang ; dari akuwu turun ke buyut, pembesar desa ; dan dari buyut turun ke penghuni desa. Demikianlah tingkat organisasi pemerintahan di jaman Majapahit, dari pucuk pimpinan negara sampai rakyat di pedesaan. apa yang berlaku di tanah Jawa ini diterapkan dengan patuh di pulau Bali.

Tidak demikian halnya dengan pemerintahan di daerah seberang lautan. Pemerintahan seberang lautan tidak mengalami perubahan apapun setelah menjadi daerah bawahan Majapahit. Dalam soal urusan negara, raja-raja atau pembesar daerah bawahan di seberang lautan tersebut berkuasa dan berdaulat penuh. Artinya seorang raja atau pembesar daerah bawahan menerapkan sistem kekuasaan penuh di tangan raja atau pembesar daerah setempat.


Kewajiban utama daerah bawahan terhadap pusat adalah menyerahkan upeti tahunan dan menghadap raja Majapahit pada waktu-waktu yang telah ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit. Pemerintah pusat dalam hal ini raja Majapahit tidak mencampuri urusan daerah, berarti daerah-daerah bawahan bersifat otonom penuh. Negarakertagama dalam pupuh XVI/5 menegaskan bahwa Majapahit memelihara angkatan laut yang sangat besar untuk melindungi daerah-daerah bawahan dan menghukum pembesar daerah bawahan yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Konon angkatan laut Majapahit telah banyak berjasa, terutama dalam merebut kekuasaan di daerah seberang lautan dan membinasakan musuh-musuh yang melawan kekuasaan Majapahit. Oleh karena itu angkatan laut Majapahit sangatlah ditakuti. Pembinaan angkatan laut yang besar adalah merupakan syarat mutlak bagi Majapahit sebagai negara maritim dalam mempertahankan kekuasaannya di lautan teduh (Pasifik) ; sebagian ditempatkan di pantai Utara pulau Jawa untuk melindungi negara induk dan sebagian lagi disebar di beberapa tempat untuk mengawasi daerah bawahan. Tidak diketahui secara pasti seberapa besar armada laut Majapahit dalam abad empatbelas. Tetapi satu hal yang pasti, berdasarkan berita Cina dari Dinasti Ming bahwa pada tahun 1377 pasukan Majapahit telah berhasil menyerbu Suwarnabhumi serta mencegat  dan membunuh utusan dari Cina yang mengantarkan surat pengangkatan putera mahkota Suwarnabhumi, tetapi Kaisar Cina tidak berani melakukan tindakan balasan.

Negarakertagama di dalam pupuh XV memberitakan bahwa pada musim-musim tertentu pemerintah pusat mengirimkan pegawai dan pendeta-pendeta ke daerah seberang untuk menarik upeti. Dalam menjalankan tugas itu para pegawai dan para pendeta dilarang keras mencari untung demi kepentingannya sendiri, maksudnya agar jangan sampai tugas negara itu dilalaikan. Mungkin sekali perjalanan mereka ke daerah-daerah dikawal oleh angkatan laut Majapahit, sehingga keamanan mereka terjamin dan pengumpulan upeti berjalan lancar, karena pembesar-pembesar daerah takut kepadanya. Disamping mengumpulkan upeti, mereka juga bertugas membuat laporan tentang keadaan daerah-daerah yang mereka kunjungi, sehingga dengan demikian pemerintah pusat mengetahui seluk-beluk daerah-daerah bawahannya. Dapat dipastikan bahwa Prapanca sebagai dharmadhyaksa kasogatan memanfaatkan laporan-laporan para pendeta yang pernah berkunjung ke daerah-daerah, sehingga pengetahuannya tentang keadaan daerah-daerah di seberang lautan maupun di tanah Jawa menjadi sangat luas dan mendalam. 
Harta benda persembahan upeti diserahkan kepada pemerintah pusat, terutama dimasukkan sebagai harta kekayaan raja untuk membiayai segala macam pengeluaran istana. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa raja dapat membangun istana dan gedung-gedung para pembesar seperti diuraikan dalam Negarakertagama pupuh VIII-XIII, dan membuat pesta besar-besaran baik demi kepentingan pribadi keluarga raja maupun demi perayaan-perayaan sepanjang tahun, dimana rakyat juga ikut menikmati. Segala-galanya serba besar lagi mewah untuk menunjukkan keagungan kerajaan yang memang subur makmur. Kekayaan raja berupa abdi, harta, kereta, gajah dan kuda dikatakan berlimpah-limpah bagai samudra.

Selanjutnya silahkan menuju ke bagian ketiga.

HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH (1)

Mungkin daftar daerah bawahan sebagaimana yang pernah ditulis dalam postingan terdahulu dirasakan agak berlebihan, sebaliknya perlu dipahami bahwa pengertian kerajaan/daerah bawahan Majapahit pada abad ke empat belas berbeda dengan pengertian koloni pada jaman modern ini. Persembahan upeti dari kerajaan-kerajaan bawahan tidak banyak berarti nilainya bagi Majapahit. Pemberian upeti yang kecil ini sudah dianggap sebagai bukti pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit atas daerah yang bersangkutan, dan oleh karenanya daerah itu dianggap sebagai daerah bawahan Majapahit. Contoh misalnya : Kerajaan Pu-Ni yang dipimpin oleh Hiawang hanya memberikan upeti sebesar 40 kati kapur barus. Hal ini sangat tidak bernilai secara ekonomis.

Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad empatbelas, Majapahit merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara dan menggantikan kedudukan Mataram serta Sriwijaya, dua buah negara yang berbeda dasarnya. Mataram adalah negara pertanian (agraris) dan Sriwijaya adalah negara maritim (kelautan). Kedua ciri tersebut dimiliki oleh kerajaan Majapahit sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara, yang sanggup menghimpun daerah dan kepulauan di bawah lindungan satu negara (Majapahit). Hal ini merupakan peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penyatuan Jawa dan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit menyebabkan timbulnya kuasa yang luar biasa besar, yang ditakuti oleh negara-negara tetangga di daratan Asia. Pertumbuhan tersebut membawa pelbagai akibat, diantaranya masalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Bertambah luas wilayahnya, bertambah sulit untuk menjalankan roda pemerintahan, serta bertambah besar pula alat-alat pemerintahan yang diperlukan.

Di tanah Jawa ada sebelas negara bawahan, masing-masing diperintah oleh raja-raja bawahan, serta terdapat lima propinsi atau daerah yang disebut dengan mancanegara, dan masing-masing diperintah oleh seorang Juru Pengalasan atau Adipati, yaitu : Daha diperintah oleh Bhre Daha alias Dyah Wiyat Sri Rajadewi, Wengker diperintah oleh raja Wijayarajasa, Matahun diperintah oleh oleh raja Rajasawardhana, Lasem diperintah oleh Bhre Lasem, Pajang diperintah oleh Bhre Pajang, Paguhan diperintah oleh Singhawardhana, Kahuripan diperintah oleh Tribhuwana Tunggadewi, Singasari diperintah oleh raja Kertawardhana, Mataram diperintah oleh Bhre Mataram alias Wikramawardhana, Wirabhumi diperintah oleh Bhre Wirabhumi dan Pawanuhan diperintah oleh puteri Surawardhani. Semua pemegang kuasa di negara bawahan adalah merupakan keluarga raja yang berkuasa (Majapahit). 

Lima propinsi yang disebut Mancanegara disebutkan menurut kiblat, yakni di Utara, Timur, Selatan, Barat dan di Pusat, masing-masing diperintah oleh seorang Juru Pengalasan yang bergelar Rakrian. Baik negara bawahan maupun daerah propinsi mengambil pola pemerintahan pusat. Raja dan Juru Pengalasan adalah pembesar yang bertanggung-jawab, namun pemerintahannya dikuasakan kepada patih, sama dengan pemerintahan pusat, dimana raja Majapahit adalah orang yang paling bertanggung-jawab, tetapi pemerintahannya ada di tangan Patih Amangkubumi atau patih seluruh negara. Itulah sebabnya maka menurut Negarakertagama pupuh X, para patih, jika datang ke Majapahit, mengunjungi gedung kepatihan amangkubumi yang dipimpin oleh Gajah Mada. Administrasi pemerintahan Majapahit dikuasakan kepada lima pembesar yang disebut Sang Panca ri Wilwatikta yakni :  Patih seluruh negara, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Mereka itulah yang banyak dikunjungi oleh para pembesar negara bawahan dan daerah (propinsi) untuk urusan pemerintahan. Apa yang direncanakan di pusat, akan dilaksanakan di daerah oleh para pembesar tersebut.

Selanjutnya dipersilahkan untuk membaca bagian yang kedua.

Saturday, May 7, 2011

POLA AGRARIS-AGAMIS DI JAMAN MAJAPAHIT

Meskipun memiliki armada laut yang kuat, Majapahit tetap mempertahankan pola agraris-agamis di dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya dalam kaitan memperkuat perekonomian kerajaan Majapahit pada masa itu.  Pola agraris-agamis ini dapat kita telusuri dari kakawin Negarakertagama utamanya dalam pupuh LXXXII yang menyebutkan : "(1) Begitulah tanah Jawa pada masa pemerintahan Sri Nata (Hayam Wuruk) ; penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat ; baginda menjadi teladan dalam menjalankan enam darma ; para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabhu (2) Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala ;  Sri Nata Wengker  membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang ; mendirikan perdikan budha di Rawi, Locanapura, Kapulungan ; Baginda sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi (3) Semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas ; Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya ; sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta ; memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata (Hayam Wuruk)".
Dari uraian pupuh tersebut di atas jelaslah kepada kita bahwa raja Majapahit yang pada waktu itu Dyah Hayam Wuruk, memberikan contoh perilaku agamis dengan pembangunan tempat-tempat suci (ibadah) dan menjalankan enam darma. Dalam bidang pembangunan ekonomi, sang raja memberikan contoh dengan membuka ladang-ladang Watsari di daerah Tigawangi. Bukti pembukaan ladang oleh Hayam Wuruk ini masih dapat ditemukan di daerah Pare, Kediri yang berupa terowongan air bawah tanah yang dahulunya dipergunakan untuk proyek irigasi. Terowongan-terowongan air ini berada di sekitar Candi Surowono. Bahkan di daerah Surowono dan Sumberagung, masa tanam dalam satu tahun dapat mencapai tiga kali tanpa mengalami kekeringan.
Dengan demikian tampaklah kepada kita betapa tingginya tehnologi pengairan yang telah dimiliki oleh rakyat Majapahit pada masa itu.

Gambar Belangkas