Dalam kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, sebagai akibat tindakannya membunuh Mahisa Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut kita dapat mengetahui perihal adanya kitab undang-undang Majapahit yang disebut dengan Kutara Manawa. Pemberitaan kidung Sorandaka tersebut perlu untuk diteliti kebenarannya (karena termasuk golongan sastera muda yang ditulis setelah runtuhnya kerajaan Majapahit) dengan mempergunakan sumber-sumber sejarah yang lainnya, semacam prasasti-prasasti yang ada.
Pada prasasti Bendasari yang jelas-jelas dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk), termuat dalam O.J.O LXXXV, lempengan 6a, disebutkan perihal kitab undang-undang tersebut dalam kalimat seperti ini :"makatanggwan rasagama ri sang Hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda karing malama" yang artinya : "Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu".
Selanjutnya prasasti Trawulan berangka tahun 1358 M, dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5 dan 6 menyebutkan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa tersebut, bunyinya seperti berikut ini : ".....ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wiwacana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ......" yang artinya adalah : "Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan makna kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa".
Atas penjelasan kedua prasasti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab perundang-undangan pada jaman kerajaan Majapahit disebut dengan kitab Kutara Manawa.
Penjelasan secara rinci dapat anda baca di sini.